Tujuh anggota TNI AD yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi tersebut adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.
Jenazah tujuh jenderal baru ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sebuah sumur tua di Lubang Buaya.
Kedalaman sumur Lubang Buaya sekitar 12 meter dengan diameter 0,75 meter, yang membuat tim evakuasi mengalami kesulitan karena keterbatasan alat.
Posisi jasad Pahlawan Revolusi saat ditemukan di Lubang Buaya bertumpuk, dan baru berhasil dikeluarkan semuanya pada 4 Oktober 1965 dalam kondisi sulit dikenali.
Setelah tujuh Pahlawan Revolusi dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965, ramai diberitakan tentang penyiksaan yang dialami para jenderal sebelum dibunuh.
Pemberitaan saat itu, yang menekankan kebiadaban para pelaku penculikan, membakar amarah massa yang melancarkan aksi pembantaian terhadap anggota PKI dan simpatisannya.
Isu penyiksaan secara keji hingga mutilasi oleh PKI terhadap Pahlawan Revolusi terus digaungkan pada masa Orde Baru.
Bertahun-tahun kemudian, terungkap bahwa informasi yang diberikan oleh media massa saat itu tidak sesuai dengan hasil otopsi yang dilakukan oleh tim forensik.
Lantas, bagaimana kondisi jasad tujuh Pahlawan Revolusi yang sebenarnya?
Kondisi jasad tujuh jenderal versi Pemerintah Orde Baru
Pada 4 Oktober 1965, tujuh mayat jenderal TNI AD yang telah diangkat dari dalam sumur segera dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) guna diotopsi.
Jasad tujuh jenderal ditangani oleh tim khusus yang terdiri dari dua dokter RSPAD, yaitu dr Brigjen Roebiono Kartopati dan dr. Kolonel Frans Pattiasina, serta tiga orang dari Ilmu Kedokteran Kehakiman Universitas Indonesia, Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay.
Sore hari pada 4 Oktober itu, pemberitaan di media fokus pada proses evakuasi tujuh jenderal dari Lubang Buaya.
Selain itu, muncul narasi-narasi bahwa sebelum dibunuh, tujuh jenderal disiksa secara keji oleh PKI.
Sesaat setelah pengangkatan ketujuh jenazah, Pangkostrad Mayjen Soeharto juga menekankan kebiadaban para pelaku penculikan, mesti tidak menjelaskan secara spesifik.
Narasi yang sama berulang kali disampaikan Soeharto dalam otobiografinya, bahwa semua jenazah dalam keadaan rusak akibat penganiayaan.
Seminggu setelah dikontrolnya media massa oleh Pangkostrad, semakin ramai diberitakan tentang penyiksaan yang dialami oleh para jenderal sebelum dibunuh dan dilempar ke sumur Lubang Buaya.
Mantan anggota CIA yang bertugas di Jakarta saat itu, Ralph McGhee menyebut berita tersebut sangat efektif membakar emosi massa dan menciptakan iklim kondusif bagi militer untuk melancarkan aksi pembantaian terhadap anggota PKI dan simpatisannya.
Nugroho Notosusanto dalam buku Tragedi Nasional Percobaan KUP G30S/PKI di Indonesia terbitan 1990, menyebut bahwa adanya penyiksaan fisik dan perlakuan kejam terhadap para jenderal dan seorang perwira pertama korban G30S/PKI dibuktikan dari laporan visum et repertum yang dibuat oleh tim lima dokter yang menangani.
Namun perlu diingat, laporan visum et repertum tersebut tidak ditunjukkan ke publik isinya.
Adanya perusakan atau mutilasi secara mengerikan juga digambarkan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984), yang menjadi tayangan wajib televisi pada masa Orde Baru.
Narasi itulah yang selama puluhan tahun ditekankan oleh pemerintah Orde Baru dan dipercaya masyarakat, hingga menciptakan kebencian mendalam kepada para pihak yang terlibat, khususnya PKI yang dituding menjadi dalang peristiwa G30S.
Kondisi jasad tujuh jenderal versi tim forensik
Setelah puluhan tahun berlalu, terungkap adanya perbedaan keterangan mengenai kondisi jenazah para Pahlawan Revolusi.
Keterangan salah seorang anggota tim forensik yang ditugaskan untuk mengotopsi jenazah para jenderal justru berkebalikan dari pernyataan Pemerintah Orde Baru.
Adalah Lim Joe Thay, yang menyebut bahwa informasi yang diberikan oleh media massa tidak sesuai dengan hasil otopsi yang dilakukan oleh tim forensik.
Berikut kesaksian Lim Joe Thay dalam buku milik Surya Lesmana yang dikutip A. Yogaswara:
"Kami periksa penis korban dengan teliti, Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja tidak ada. Itu faktanya. Satu lagi: mata yang dicongkel. Memang kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang kotal-katil. Tapi itu karena sudah lebih dari tiga hari terendam, bukan karena dicongkel paksa..."
Lebih lanjut, Lim Joe Thay juga memberikan keterangan ketika Soeharto hadir dalam proses otopsi.
"Saya sedikit mengangkat kepala mayat yang sedang saya periksa dan baru sadar Pak Harto ada di ruangan. Dia mengenakan battle dress (pakaian tempur). Kabarnya RSPAD dari malam sampai pagi itu dijaga ketat pasukan Kostrad. Kami tanyakan waktu itu, apakah mayat para jenderal akan diotopsi secara lengkap atau tidak. Para jenderal yang hadir, termasuk Pak Harto bilang tak usah..."
Melansir Tribunnews, berikut ini kondisi jenazah tujuh Pahlawan Revolusi yang dilaporkan oleh tim forensik.
Jenderal Ahmad Yani
Mayor Jenderal Raden Soeprapto
Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo
Mayor Jenderal Siswondo Parman
Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan
Lettu Pierre Andreas Tendean
Referensi:
https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/30/150000279/kondisi-jenazah-7-pahlawan-revolusi-tidak-seperti-narasi-orde-baru