Teori Domino yang diciptakan oleh Presiden Eisenhower bersama Menlu Dulles pada 1953 mengibaratkan negara-negara Asia Tenggara sebagai kartu Domino, yang apabila satu negara telah menjadi Komunis, maka negara di sekitarnya akan segera mengikutinya.
Hingga 1966, AS telah menempatkan hampir setengah juta pasukan di Vietnam Selatan.
Keterlibatan AS dalam Perang Vietnam khususnya untuk mencegah pengaruh Uni Soviet dan ekspansi China Komunis ke Asia Tenggara sesuai dengan Politik Pembendungan (Containment Policy), yang menempatkan Komunis sebagai musuh utama.
Akan tetapi, meskipun AS lebih unggul dalam hal persenjataan, pada akhirnya perang dimenangkan oleh Vietnam Utara.
Lantas, apa sebab-sebab kekalahan Amerika di Vietnam?
Tentara AS masih sangat muda
Keterlibatan AS dalam Perang Vietnam mendapatkan kecaman dari dunia internasional dan rakyatnya sendiri.
Salah satu alasannya adalah program mobilisasi pemuda yang menginjak 18 tahun untuk dikirim ke Vietnam oleh Presiden Johnson dan diteruskan oleh Presiden Nixon.
Mobilisasi ini mengingatkan rakyat AS pada Perang Dunia II. Terbukti, pada akhir Perang Vietnam, AS kehilangan nyawa dari kurang lebih 60.000 tentaranya dan hampir 8.000 lainnya hilang.
AS tidak didukung rakyat Vietnam Selatan
Meski datang untuk membela Vietnam Selatan, keterlibatan AS tidak didukung sepenuhnya oleh rakyatnya.
Rakyat Vietnam Selatan justru mendukung Vietcong (Barisan Nasional Pembebasan Vietnam Selatan yang dibentuk dengan dukungan Vietnam Utara) dan Vietnam Utara.
Salah satu sebabnya adalah karena tentara AS bertindak sewenang-wenang, seperti membunuh penduduk sipil yang tidak berdosa lantaran dituduh bersekongkol dengan Vietnam Utara.
Selain itu, kendaraan perang AS banyak yang merusak lahan pertanian sehingga membuat rakyat murka.
Propaganda Vietnam Utara
Kebencian rakyat Vietnam Selatan terhadap AS kemudian dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Vietnam Utara.
Tokoh-tokoh Vietnam Utara selalu menyebarkan propaganda bahwa Vietnam Selatan dan Utara adalah satu, sehingga mereka harus mengusir AS.
Mereka juga menyamakan AS dengan penjajah Perancis, sehingga semangat untuk melawan dari rakyat Selatan pun tinggi.
Cara ini dipadukan dengan operasi militer konvensional yang kemudian disebut sebagai strategi PEG (peasants, enemy, guerilla) atau petani, musuh, gerilya, di mana tentara Vietnam Utara mendekati para petani yang dapat memenuhi kebutuhan makan mereka, kemudian melakukan propaganda, serta melakukan perang gerilya.
AS tidak menguasai medan perang
Sejak melawan Perancis, baik Vietcong dan Vietminh telah menguasai jalur-jalur penting, termasuk terowongan rahasia, yang oleh pasukan AS disebut sebagai "terowongan maut".
Terowongan yang terkenal adalah Terowongan Chu Chi, yang letaknya sangat strategis untuk menggempur tentara AS di Vietnam Selatan.
Perlengkapan seperti barak-barak, fasilitas kesehatan, dan logistik, juga telah tersusun rapi di bawah tanah.
Hal itulah yang membuat pasukan Vietcong dan Vietminh lebih unggul dari AS, yang notabene memiliki persenjataan lebih canggih.
AS meremehkan Vietcong
AS selalu membedakan Vietcong dengan tentara Vietnam Utara atau Vietminh. Menurut AS, Vietminh adalah agresor, sedangkan gerilya Vietcong hanyalah pengacau.
Oleh karena itu, AS selalu meremehkan Vietcong dan lebih mengonsentrasikan pertempuran dengan Vietminh.
Selain bertempur secara "hit and run", pasukan Vietcong berhasil memenangkan perang dengan membangun daerah kantong-kantong besar dekat perbatasan Vietnam-Kamboja.
Vietcong juga menjalin kerjasama dengan Khmer Merah dan Pathet Lao (Pasukan Komunis Laos), yang pada akhirnya berhasil membuat pasukan AS gelagapan.
Akhirnya pada April 1975, akibat gempuran dari Vietminh dan Vietcong, Vietnam Selatan jatuh ke tangan Komunis.
Sementara AS harus menelan pil pahit karena harus angkat kaki dan menerima kekalahan pertamanya dalam peperangan melawan negara berkembang di Asia Tenggara.
Referensi:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/29/140000179/penyebab-kekalahan-amerika-di-perang-vietnam