Oleh: Nenny Litania, Guru SD Muhammadiyah 019 Bangkinang, Kampar, Provinsi Riau
KOMPAS.com - Puisi memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Kata-kata yang digunakan mengandung nilai keindahan yang khusus untuk membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan, bahkan keharuan.
Penyair melakukan penyimpangan bahasa dalam puisinya untuk memperkuat daya puisi, mencapai bentuk pengucapan tertentu yang diinginkan, mencapai keselarasan rima, atau merasa bahasa konvensional yang sudah ada tidak dapat menjadi medium yang mampu mengungkapkan perasaan secara tuntas.
Baca juga: Bait Puisi: Pengertian dan Contohnya
Berikut sembilan penyimpangan bahasa dalam puisi, yaitu:
Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: ngiau, pepintu, leluka.
Contoh: puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Sepisaupi
"sepisaupa, sepisaupi, sampai pisauNya ke dalam nyanyi"
Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang makna tanda bahasa.
Penyimpangan semantis adalah penyimpangan yang berupa penggunaan kata dalam puisi yang maknanya tidak menunjuk kepada makna aslinya.
Misalnya, ketika seorang penyair menggunakan kata langit dalam puisinya. Kata 'langit' itu bisa merujuk kepada "Tuhan' atau 'sesuatu/seseorang yang sangat jauh dan sulit dijangkau.
Baca juga: 3 Contoh Puisi tentang Pengalaman Pribadi
Untuk kepentingan rima, penyair sering melakukan penyimpangan bunyi. Sebagai contoh, dalam puisinya yang berjudul "Yang Terampas dan Putus", Chairil Anwar menggunakan kata 'menggigir' untuk menggantikan kata 'menggigil'.
la melakukan penyimpangan dengan mengubah bunyi // dalam kata 'menggigil' menjadi bunyi /r/ sehingga menjadi 'menggigir'
"Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin” (Yang Terampas dan Yang Putus)
Penyair sering kali juga tidak mengindahkan aturan morfologis (pembentukan kata) kutipan puisi Balada Sumillah karya W.S. Rendra di bawah ini:
“bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya” (Balada Sumilah)