Orang-orang Tiongho yang termasuk golongan pedagang dan menengah ke atas diberi tempat di sekitar Pasar Gede.
Di sana mereka membuka toko kelontong, ada juga yang berjualan dengan keliling ke desa-desa.
Baca juga: Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1800 hingga 1816
Keberadaan orang-orang Tionghoa di Surakarta lambat laun semakin banyak jumlahnya. Bahkan semakin penting peran masyarakat Tionghoa dalam aktivitas ekonomi.
Oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengangkat pemimpin masyarakat Tionghoa dengan pangkat mayor.
Pengangkatan tersebut dilakukan karena orang-orang Tionghoa di Surakarta jumlahnya semakin banyak.
Mayor tersebut membawahi perkampungan Tionghoa (wijk), sedang berpangkat kapiten bertanggung jawab kepada mayor.
Masyarakat Tionghoa di Surakarta awalnya menjalin hubungan baik dengan orang Jawa. Hanya saja hubungan tersebut mengalami kategangan, kondisi itu terkait dengan industri batik.
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Hokkian, Hakka, Theo Chiu, dan Kanton.
Baca juga: Sejarah Banjir Jakarta dari Zaman Tarumanegara hingga Hindia Belanda
Masing-masing komunitas tersebut memiliki pekerjaan yang berbeda. Ini seperti terlihat pada suku Hokkian, di mana memiliki usaha yang berbeda dan tersebar.
Masyarakat Tionghoa banyak menjadi perajin dan pengusaha batik yang berkembang pada akhir abad ke-19. Awalnya hanya di lingkungan keraton dan rumah-rumah para bangsawan.
Karena orang-orang Tionghoa mendominasi perdagangan batik pada waktu itu hingga membentuk perkumpulan dagang bernama Kong Sing membuat orang-orang pribumi merasa tersingkirkan.
Kondisi itu melatarbelakangi dan menjadi cikal bakal terbentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI) oleh pengusaha batik pribumi bernama Samanhudi.
Baca juga: Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1725 hingga 1798
Dikutip dari jurnal Usaha batik masyarakat China di Surakarta tahun 1900-1930 (2001) karya Sariyatun, usaha batik masyarakat Tionghoa di Surakarta berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi usaha batik masyarakat Tionghoa di Surakarta antara 1900-1930 didukung oleh:
Orang-orang Tionghoa menguasai bahan baku batik sebelum 1890.