Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin

Kompas.com - 09/03/2020, 20:00 WIB
Nibras Nada Nailufar

Penulis

KOMPAS.com - Buruknya perekonomian pada masa Demokrasi Terpimpin membuat pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang signifikan.

Beberapa kebijakan yang cukup dikenal yakni:

  • Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)
  • Penurunan nilai uang (devaluasi)
  • Deklarasi Ekonomi (Dekon)
  • Meningkatkan perdagangan dan perkreditan luar negeri
  • Peleburan bank

Berikut penjelasannya seperti dilansir dari Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018).

Pembentukan Bappenas

Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, pada 15 Agustus 1959 pemerintanh membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas).

Ketianya Moh Yamin dengan anggota sebanyak 50 orang. Pada tahun 1963, Presiden Soekarno mengganti namanya menjadi Bappenas.

Baca juga: Daftar Lembaga Negara di Indonesia

Tugas Bappenas yakni:

  • Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan bagi pembangunan di tingkat nasional dan daerah
  • Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan
  • Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS

Penurunan nilai uang (devaluasi)

Pada 25 Agustus 1959, pemerintah mengumumkan keputusan mengenai devaluasi dengan nilai:

  • Uang kertas Rp 500 menjadi Rp 50
  • Uang kertas Rp 1.000 menjadi Rp 100
  • Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000

Kebijakan ini diambil untuk membendung tingginya inflasi.

Dengan devaluasi, diharapkan uang yang beredar di masyarakat berkurang. Selain itu, nilai rupiah meningkat.

Presiden Soekarno sedang berpidato dalam rapat raksasa mengganyang Malaysia di Gelora Bung Karno tanggal 28 Juli 1963.IPPHOS Presiden Soekarno sedang berpidato dalam rapat raksasa mengganyang Malaysia di Gelora Bung Karno tanggal 28 Juli 1963.
Namun usaha tersebut tidak dapat mengatasi kemerosotan ekonomi. Para pengusaha di daerah tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan tersebut.

Baca juga: Penyebab Krisis Moneter di Indonesia

Pemotongan nilai uang memang berdampak harga barang menjadi murah. Namun tetap saja rakyat kesusahan karena tidak memiliki uang.

Kas negara sendiri defisit akibat proyek politik yang menghabiskan anggaran.

Untuk menyetop defisit, pemerintah justru mencetak uang baru tanpa perhitungan matang.

Devaluasi kembali dilakukan pada 1965 dengan menjadikan uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Akibatnya, bukannya berkurang, inflasi malah makin parah.

Indonesia mengalami hiperinflasi pada 1963-1965. Inflasi mencapai 600 persen pada 1965.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Mengapa Peta menjadi Hal Penting Menurut Claudius Ptolomeus?

Mengapa Peta menjadi Hal Penting Menurut Claudius Ptolomeus?

Skola
5 Kekurangan Perseroan Terbatas (PT)

5 Kekurangan Perseroan Terbatas (PT)

Skola
Mengapa Air Termasuk Zat Tunggal?

Mengapa Air Termasuk Zat Tunggal?

Skola
Garam Dapur Termasuk Senyawa Organik atau Anorganik?

Garam Dapur Termasuk Senyawa Organik atau Anorganik?

Skola
Fungsi Batang pada Tumbuhan

Fungsi Batang pada Tumbuhan

Skola
Apa Fungsi Air Ketuban pada Kehamilan?

Apa Fungsi Air Ketuban pada Kehamilan?

Skola
Pengertian, Sifat, dan Contoh dari Bilangan Berpangkat

Pengertian, Sifat, dan Contoh dari Bilangan Berpangkat

Skola
Apa Nama Benda Langit yang Berkelip Pada Malam Hari?

Apa Nama Benda Langit yang Berkelip Pada Malam Hari?

Skola
Mengenal 20 Sumber Makanan Protein Nabati

Mengenal 20 Sumber Makanan Protein Nabati

Skola
5 Kekurangan Model Komunikasi Dance

5 Kekurangan Model Komunikasi Dance

Skola
Apa Tujuan Manusia Melestarikan Tumbuhan?

Apa Tujuan Manusia Melestarikan Tumbuhan?

Skola
Apa Itu Kalimat dan Bagaimana Contohnya?

Apa Itu Kalimat dan Bagaimana Contohnya?

Skola
Lembaga Legislatif: Pengertian dan Fungsinya

Lembaga Legislatif: Pengertian dan Fungsinya

Skola
Siapa Itu Parikesit?

Siapa Itu Parikesit?

Skola
Karakter Tokoh Wayang Kumbakarna

Karakter Tokoh Wayang Kumbakarna

Skola
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com