Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ontologi Hukum

Sisanya, ada yang berbicara mengenai kepastian hukum dan kemanfaatan. Ada juga yang menyamakannya pada posisi deontologis, yakni meletakkannya sebagai suatu etika normatif yang berangkat dari moralitas suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan.

Kajian ontologis pada dasarnya berupaya menyingkap keberadaan yang konkret atau inheren serta melekat secara vital dan laten pada sesuatu. Ontologi berangkat dari pertanyaan "apa", untuk sampai bisa menelisik substansi yang terdalam dari sesuatu tersebut.

Yang perlu digarisbawahi bahwa aturan, moral, hak, kewajiban, kewenangan, sanksi, dan sebagainya dalam hukum pada dasarnya merupakan sesuatu yang berada di level cangkang. Semua itu adalah suatu implikasi terakhir di ranah teks yang berangkat dari cita-cita politik (hukum) tertentu.

Hukum mengandaikan kekacauan

Namun jauh di kedalaman jantung tubuhnya, substansi atau hakikat hukum itu sendiri sebenarnya adalah "kekacauan", dan tentunya ini sama sekali bukanlah "keteraturan" dalam artian umum yang kita kenal.

"Kekacauan" adalah "inti" mengapa hukum hadir. Tanpa kekacauan sebenarnya hukum tidak akan dirumuskan dan dibuat.

Di ranah praktik, hukum tidak akan menerapkan dirinya, karena ia merasa tidak perlu hadir bila situasi tidak kacau.

Maka, kadang-kadang muncul anekdot yang menyatakan bahwa "hukum itu ada untuk dilanggar", karena dengan adanya pelanggaran yang berarti adalah kekacauan, hukum baru dapat dikatakan eksis dan bekerja setelahnya.

Tidaklah lengkap bila membicarakan hukum tetapi tidak membicarakan kekacauan yang telah hadir dan mewujud sebelumnya. Itu laksana yin dan yang, atau satu koin dengan dua sisi yang berbeda. Namun bedanya kekacauanlah sosok ibu kandung sekaligus jantung dari hukum.

Di ranah pembentukan hukum, para legislator ataupun penguasa di suatu negara hukum biasanya menarasikan kekacauan yang telah hadir sebelumnya dalam bentuk naskah akademik rancangan peraturan hukum. Di dalamnya, kekacauan ditelaah dan dianalisis dengan menggunakan justifikasi argumen filosofis, historis, yuridis, maupun sosiologis.

Hingga akhirnya memunculkan sebuah kesimpulan bahwa aturan hukum penting untuk dirumuskan dan disahkan "demi mengatasi kekacauan" yang telah hadir ataupun kekacauan yang akan datang di kemudian hari.

Dalam konteks keberadaan hukum publik, misalnya, ini sama seperti seseorang yang didakwa dengan Pasal 340 KUHP terkait tindak pidana pembunuhan berencana.

Selain dakwaan-tuntutan-putusan yang hadir belakangan sebagai dokumen sekaligus produk hukum, basis yang digunakan untuk menentukan pasal hukum dan status hukum, berangkat dari kisah mengenai suatu peristiwa pidana yang kacau-balau yang tertuang di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di Kepolisian.

Meski begitu, tampaknya hukum tak sepenuhnya dapat mengatasi kekacauan yang telah hadir di awal, melainkan terkadang justru menjadi awal untuk terjadinya kekacauan beruntun selanjutnya.

Entah karena norma aturannya yang kurang lengkap, normanya yang bersifat diskriminatif, normanya bertentangan dengan norma aturan di atasnya, ataupun normanya membuka peluang bagi penguasa atau kelompok tertentu untuk menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan, dan sebagainya.

Umumnya, hukum yang seperti ini dilahirkan lewat proses kreasi kekerasan berpikir dan sedikit bumbu drama sentimental, akibat adanya pertarungan politik hukum dan antar kelompok yang berkepentingan atas suatu produk hukum.

Sisanya, bisa jadi hukum tersebut lahir dari proses diskursus yang tidak sehat dan tidak jernih. Alih-alih hukum dilahirkan dalam kondisi "hikmat dan kebijaksanaan", yang terjadi adalah hukum dilahirkan lewat penuh "siasat dan kelicikan".

Naasnya, sewaktu-waktu hukum juga akan mengalami posisi yang ambivalen. Bila hukum diterapkan, berarti sebelumnya telah terjadi kekacauan. Bila hukum tidak diterapkan, diasumsikan sebelumnya tidak terjadi kekacauan.

Negara "setengah hukum"

Namun di negara dengan "setengah hukum" yang aturan hukumnya bisa dinegosiasikan dengan kuasa politik ataupun uang, hukum yang tidak diterapkan pun tetap menimbulkan kekacauan beruntun. Ibarat kata, maju kena mundur kena. Tapi pertunjukan harus tetap berjalan.

Tampaknya, apa yang disebut sebagai APH (aparat penegak hukum), baik itu hakim, jaksa, polisi, advokat, notaris, mediator bersertifikat, penyidik pegawai negeri sipil (PNS), dan sebagainya adalah profesi yang paling tidak, dapat mengambil keuntungan dari situasi kekacauan.

Berbekal pengetahuan dan analisis deduktifnya yang tajam atas norma-norma aturan hukum untuk diterapkan dalam suatu perkara hukum, para APH akan semakin lihai dan teruji ketika dihadapkan dengan situasi badai atau kacau, untuk kemudian bisa menunggangi kekacauan tersebut. Syukur-syukur kemudian mereka dapat menghasilkan cuan dari situ.

Sebab di dalam badai dan kekacauan itu kerap menyisakanblind-spot atau titik buta -yang dalam "bahasa praktisi" sering disebut sebagai peluang hukum atau celah hukum, yang kemudian menjadi batu pijakan bagi APH untuk mengatasi problem kekacauan yang hadir.

"Klien" pun senang karena kekacauannya diselesaikan oleh APH.

Dalam konteks yang lebih organik, keberadaan produk hukum dalam suatu komunitas atau organisasi atau bahkan negara dihadirkan untuk mengatasi kekacauan yang sudah ada sebelumnya.

Artinya, jika suatu komunitas atau organisasi terlalu banyak memiliki produk aturan hukum, bisa jadi komunitas atau organisasi itu sebenarnya menyimpan banyak riwayat kekacauan, dan ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa suatu komunitas atau organisasi itu sudah atau belum mengatasi kekacauan tersebut.

Dengan begitu, dunia hukum pada dasarnya adalah dunia kekacauan. Aturan hukum bisa terus diperbaharui dan silih berganti, namun pada dasarnya hanyalah peralihan dari satu kekacauan ke kekacauan yang lain.

Dalam dunia yang serba kacau, pilihan orang yang bergelut di sana adalah: menyerah dan pasrah, atau bersiasat dengan kekacauan itu, paling tidak dia bisa sedikit menunda kekalahan kalau belum sepenuhnya bisa menang menunggangi badai kekacauan tersebut.

Yang tersisa serta tampak secara kasat mata adalah bagaimanapun keadaannya, orang-orang terus mencoba bertahan, bersiasat dengan kekacauan untuk menunda hukum, dan bersiasat dengan hukum untuk menunda kekacauan.

https://www.kompas.com/skola/read/2022/11/02/163612969/ontologi-hukum

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke