Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lincah Andadari
Peneliti BRIN

Peneliti di Pusat Riset Zoologi Terapan, BRIN

Membangkitkan Kejayaan Sutra Indonesia

Kompas.com - 20/10/2023, 13:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUTRA identik dengan kain halus dan mahal. Memang salah satu identitas pakaian mewah adalah sutra, produk tekstil yang dikenal di seluruh dunia.

Sutra merupakan serat yang berasal dari kepompong ngengat Bombyx mori L. yang digunakan dalam industri tekstil.

Walaupun hanya mendukung 0,2 persen pasar tekstil global, namun sutra merupakan industri rumahan yang penting.

Sifat-sifatnya yang unik dalam hal penyerapan air, toleransi suhu, dan kilaunya memungkinkan serat sutra digunakan dalam berbagai aplikasi industri dan medis.

Serikultur merupakan agroindustri sutra yang meliputi kegiatan hulu dan hilir. Hulu mencakup budidaya murbei (morikultur) dan pemeliharaan ulat sutra B. mori L. (serikultur).

Hilir terdiri dari pembuatan benang dari filamen kepompong sutra (filatur) dan pemintalan benang menjadi kain tenun dan sejenisnya (manufaktur).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan sutra sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang potensial untuk dikembangkan karena manfaat serikultur bagi ekonomi, masyarakat, dan kelestarian lingkungan.

Indonesia memiliki keunggulan dalam pengembangan sutra dari segi biofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya.

Pada abad ke-16, Pidie di Aceh telah menjadi sentra sutra yang bahkan sampai mengekspor produknya ke India. Saat ini budidaya sutra sudah dikembangkan di Yogyakarta, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Bali.

Produsen sutra terbesar di Indonesia adalah Provinsi Sulawesi Selatan. Lebih dari 80 persen produksi benang sutra berasal dari wilayah ini, khususnya daerah Wajo dan Soppeng.

Berdasarkan data dari Balai Persutraan Alam (BPA) tercatat dari tahun 2002 hingga 2008, jumlah sutra mentah yang diproduksi di Indonesia berkisar antara 37 ton dan 59 ton.

Namun, ada banyak hambatan yang menghalangi pengembangan serikultur di Indonesia. Utamanya adalah serangan penyakit pebrine yang mulai terjadi pada 2009.

Hal ini menyebabkan volume produksi sutra mentah nasional mengalami tren penurunan hingga hampir 50 persen.

Sejak 2009 hingga 2015, BPA mencatat produksi sutra mentah Indonesia hanya berkisar antara 12,13 ton – 19,5 ton.

Penurunan produksi menyebabkan perbedaan permintaan dan penawaran bahan baku sutra semakin lebar. Menurut BPA (2013), permintaan sutera mentah berkisar antara 550 ton - 800 ton per tahun.

Setelah epidemi pebrine, hanya 3,8 persen permintaan yang dapat dipenuhi. Akibat ketimpangan kapasitas produksi terhadap permintaan, benang sutra asli dan benang sintetis lainnya diimpor dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan industri sutra.

Solusi holistik diperlukan untuk dapat menghidupkan kembali industri sutra nasional karena masalahnya sangat kompleks dan berhubungan satu sama lain.

Ada lima hal yang dapat dijadikan pilar untuk mengembalikan kejayaan sutra Indonesia, yaitu: (1) bibit unggul ulat sutra B. mori L. , (2) tanaman murbei sebagai pakan, (3) peralatan yang memadai, (4) tenaga kerja dan prosedur operasional standar (SOP) yang dijalankan serta (5) kebijakan dan dukungan pemerintah.

Bibit unggul ulat sutra Bombyx mori L.

Ulat sutra B. mori L. merupakan jenis serangga monofagus yang mampu menghasilkan serat benang sutra. Faktor genetik dan lingkungan adalah dua variabel yang dapat memengaruhi produktivitas ulat sutra.

Mengingat ulat sutra adalah hewan berdarah dingin (poikilotherm), yang berarti suhu tubuhnya berubah-ubah sesuai dengan suhu lingkungannya, produksi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Suhu lingkungan memengaruhi kelembaban dan berimbas pada fisiologi ulat. Untuk pertumbuhan normal, suhu ideal ulat sutra adalah 20–28 derajat celcius dengan kelembaban 70-85 persen.

Salah satu faktor penyebab turunnya produksi benang sutra, terutama di Sulawesi Selatan sebagai pusat sutra nasional, adalah kekurangan telur ulat sutra yang berkualitas tinggi dan tahan terhadap iklim lokal.

Selama ini telur ulat sutra yang berkembang merupakan telur ulat produksi Pehutani dengan nama dagang C301 yang merupakan hibrid B. mori L. antara betina ras Jepang dan jantan ras China.

Jenis ini mempunyai keunggulan filamen yang Panjang (750 – 900 m) dan daya gulungnya 80 – 85 persen. Produktivitas jenis ini adalah 25 – 30 kg per boks. Namun Perhutani tidak lagi memproduksi hibrid ini sejak 2010.

Kementerian LHK melalui Badan Litbangnya sejak 2009-an, terus mengembangkan hibrid unggul. Salah satu produknya adalah BS 09 yang kemudian dikembangkan oleh Perhutani.

Pada 2013, KLHK kembali meluncurkan jenis hibrid baru, yaitu PS 01, disusul hibrid SINAR Puslitbang Hutan pada 2019.

Sama seperti bibit C301 dari Perhutani, kedua jenis hibrid produk KLHK merupakan hibrid persilangan betina ras Jepang dan jantan ras China, namun masing-masing berasal dari galur yang berbeda.

PS 01 mempunyai keunggulan rasio kulit kokon (21,77 – 25,42 persen), daya tetas (90 - 96 persen) dan panjang filamen (808 – 1003 m).

Jenis ini mempunyai produktivitas 35 – 40 kg per boks dan sudah diluncurkan sebagai hibrid unggul berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No: SK 794/Menhut-II/2013.

SINAR Puslitbang Hutan mempunyai keunggulan rasio kulit kokon (20,31 – 21, 87 persen), daya tetas (90 – 95,33 persen) dan panjang filamen (1.008,4 – 1.102,8 m).

Jenis ini mempunyai produktivitas 38,92 – 40 kg per boks dan telah dinyatakan sebagai hibrid unggul berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No: SK.300/Menlhk/Setjen/KUM.1/4/2019).

Kedua hibrid diharapkan menjadi pengganti bibit sebelumnya yang sudah tidak diproduksi lagi. Namun, sangat disayangkan, kedua hibrid unggul belum banyak digunakan oleh petani sutra karena berbagai sebab. Salah satunya akibat terbatasnya akses informasi dan diseminasi produk yang sangat kurang.

Kualitas dan produktifitas murbei

Daun murbei (Morus sp.) merupakan satu-satunya makanan ulat sutra B. mori. Daun murbei berpengaruh sekitar 28 – 30 persen dalam produksi kokon.

Karakteristik lingkungan Indonesia sebagai negara agraris sangat ideal untuk tempat tumbuh tanaman murbei karena intensitas sinar matahari yang tinggi sepanjang tahun dan ketersediaan lahan terbuka.

Banyak jenis murbei yang dapat berkembang di Indonesia, di antaranya adalah Morus cathayana Hemsl., M. alba L., M. nigra L., M. multicaulis (Perr.) Loudon, M. australis Poir, dan M. bombycis Koidz.

Jenis M. cathayana menjadi spesies murbei yang paling banyak dibudidayakan karena memiliki beberapa keunggulan, seperti lebih mudah tumbuh, cocok ditanam di mana saja, serta menghasilkan lebih banyak daun.

Sayang produktivitas tanaman murbei di Indonesia masih sangat rendah, hanya 8 ton/ha/tahun. Ini baru sekitar 36,2 persen tingkat produktifitas murbei di China yang mencapai 22 ton/ha/tahun.

Pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas baru yang produktif dan tahan terhadap berbagai lingkungan adalah solusi untuk masalah ini.

Salah satu metode pemuliaan tanaman murbei adalah hibridisasi untuk menghasilkan spesies baru. Suli 01 merupakan produk hibridisasi murbei M. cathayana dengan M. amakusaguwa IV.12 yang mampu menghasilkan daun murbei sebanyak 52,35 ton/ha per tahun.

Jenis ini mempunyai bobot daun per tanaman tertinggi di antara jenis yang lain, baik pada musim hujan maupun kemarau.

Suli 01 hibrida dirilis pada 13 November 2013, berdasarkan Keputusan Menteri kehutanan SK no. 793/Menhut-II/2013.

Spesies ini dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, menghasilkan 30 persen lebih banyak daun daripada murbei biasa, dan mampu menghasilkan kualitas kokon terbaik.

Hibridisasi untuk menghasilkan jenis murbei unggul lainnya masih terus diperlukan untuk meningkatkan produktifitas sutra Indonesia.

Kebutuhan dan produksi sutra dalam negeri yang tidak berimbang harus menjadi perhatian. Sampai saat ini 95 persen kebutuhan sutra dalam negeri masih diimpor dari China.

Sebenarnya produksi kokon dan benang dalam negeri lebih baik dibanding hasil impor, terutama pada kualitas warna yang dihasilkan pascapewarnaan benang.

Namun produksi lokal dihargai lebih rendah, sekitar Rp 650.000/kg. Akibatnya, antusiasme masyarakat untuk usaha tani sutra alam menurun.

Selain itu, sebagai kegiatan yang sifatnya turun temurun dari nenek moyang, tampaknya usaha persutraan alam tidak cukup menarik bagi generasi muda.

Prosedur operasional standar dalam budidaya ulat sutra seringkali diabaikan oleh petani. Karakter-karakter ulat yang peka terhadap perubahan kondisi lingkungan seringkali tidak diperhatikan sehingga produktivitas menurun. Imbasnya kegiatan ini ditinggalkan untuk beralih ke mata pencaharian lain.

Diperlukan pelatihan dan pendampingan serta program bapak angkat industri yang membantu petani untuk dapat mengembangkan persutraan alam.

Pelatihan terkait upaya budiaya murbei dan ulat sutra dengan menggunakan hibrid unggul diperlukan secara kontinyu agar produktivitas tinggi. Pendampingan dan program bapak angkat yang menerima hasil petani dengan harga stabil dapat membantu petani lebih optimistis untuk melakukan kegiatan budidaya ini.

Ketimpangan peralatan produksi juga menjadi kendala yang nyata dihadapi. Peralatan tidak memadai importir bibit telur ulat sutra juga menjadi kendala yang menyebabkan penurunan kualitas telur impor.

Kebijakan dan dukungan pemerintah untuk memberikan bantuan peralatan produksi menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan agar kejayaan sutra nasional bangkit kembali.

Tercatat ada beberapa lembaga pemerintah, masyarakat dan swasta yang dapat didorong untuk membangun kemitraan terkait persutraan alam Indonesia seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Daerah (Pemda)/Dinas/KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan), Kementrian Koperasi dan UKM, Kementrian Perindustrian (Kemenperin), Kementrian Perdagangan (Kemendag), dunia usaha (baik swasta maupun BUMN) dan Masyarakat.

Solusi holistiK 5 pilar tersebut jika dipadupadankan secara komprehensif akan dapat mengatasi permasalahan sutra Indonesia dan dapat membangkitkan kembali kejayaan sutra Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com