SETIAP kali kita berbicara tentang layanan kesehatan di Indonesia, ada berbagai pendapat yang muncul dan jadi perdebatan, antara lain kompetensi petugas medis kita, pelayanan, fasilitas, BPJS, serta komunikasi dokter pasien. Perdebatan dan polemik ini tentunya sangat penting untuk terus menjadikan layanan kesehatan kita lebih baik lagi dari waktu ke waktu.
Kali ini saya ingin mengajak teman-teman tim medis dan manajemen mutu layanan kesehatan untuk berdiskusi: Bagaimana menjaga keselamatan pasien di rumah sakit, termasuk pencegahan komplikasi (patient safety), dan perencanaan yang memadai persiapan kepulangan pasien ke rumah (discharge planning), terutama bagi pasien lanjut usia (lansia).
Kenapa saya merasa topik ini penting dan relevan? Tanggal 1 Oktober lalu kita baru memperingati hari lansia internasional. Selain itu pada layanan homecare yang saya kelola, ada contoh situasi yang menurut saya perlu perhatian khusus dan menjadi contoh diskusi yang bagus. Tentunya contoh kasus ini bukan yang pertama ataupun terakhir ataupun satu-satunya.
Pasien adalah seorang perempuan lanjut usia sekitar 70 tahun, dengan kanker rahim, sedang kemoterapi dan dipersiapkan untuk operasi. Keluarga pasien menghubungi tim saya dengan segala kekhawatirannya.
Baca juga: Menjaga Keselamatan Pasien dengan Pengobatan Tanpa Bahaya
Pasien juga memiliki riwayat radang sendi, kencing manis dan tekanan darah tinggi. Sebelumnya, dia merupakan orang yang aktif, bahkan saat divonis kanker. Pasien tinggal dengan anaknya yang orangtua tunggal dengan tiga orang anak. Untuk melakukan kemoterapi dan operasi pengangkatan kanker rahim, pasien dirawat di rumah sakit besar di Jakarta menggunakan BPJS.
Saat perawatan kemoterapi, di rumah sakit klien terjatuh di kamar mandi, mengalami patah kaki dan perlu operasi penyambungan tulang. Karena patah kakinya, pasien menjadi terikat di tempat tidur.
Namun, operasi terus tertunda dan gagal dilakukan karena kondisi pasien tidak optimal (protein darah rendah dan kadar mineral di darah rendah). Pasien akhirnya dinyatakan harus pulang untuk persiapan operasi secara rawat jalan untuk mengoptimalkan kondisi sehingga bisa dilakukan operasi.
Informasi yang diberikan oleh tim perawat dan dokter adalah kadar elektrolit dan albumin di darahnya harus sampai batas tertentu dan ini bisa dilakukan di rumah dengan suplemen garam dan protein.
Perbaikan kondisi ini tidak berhasil dilakukan di rumah sakit, sehingga pasien harus pulang. Selama perawatan juga terjadi komplikasi luka dekubitus akibat terlalu lama berbaring tanpa mobilisasi yang memadai di rumah sakit.
Keluarga pasien mengalami kebingungan karena bila klien tidak bisa dioptimalkan untuk operasi selama perawatan, kenapa dipulangkan, apakah tidak bisa ada obat-obatan yang diberikan agar bisa dilakukan operasi.
Bila alasannya biaya, apakah tidak ada yang bisa dilakukan dengan ‘share cost’ dengan keluarga? Menurut diskusi keluarga dan rumah sakit, bila status pembiayaan BPJS diubah menjadi status pembiayaan umum, maka tidak bisa dikembalikan lagi kepada status BPJS.
Keluarga klien yang panik, bertanya ke sana ke mari karena tidak tahu bagaimana cara merawat pasien kanker, yang sedang lemah dan tirah baring karena paska kemoterapi serta patah kaki akibat jatuh di rumah sakit.
Keluarga bertanya-tanya, apabila di rumah sakit upaya persiapan operasi tidak bisa memadai, bagaimana dengan di rumah? Bila pasien harus pergi dan pulang untuk kontrol, bukannya justru menyebabkan biaya yang lebih tinggi untuk pasien dan keluarganya?
Sejak diluncurkan pada tahun 2014, program BPJS sudah membantu jutaan masyarakat Indonesia dan memberikan kesempatan bagi masyarakat yang tadinya tidak bisa berobat, jadi berobat. BPJS juga telah membantu jutaan orang untuk terhindar dari perangkap kebangkrutan karena harus mengeluarkan biaya pengobatan yang bisa ratusan juta bahkan milyaran.
BPJS, selama perjalanannya telah mengalami penyesuaian yang sangat berarti dan signifikan berdasarkan masukkan dari berbagai pihak. Anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah juga semakin besar setiap tahunnya.
Baca juga: Mengapa Warga Medan Lebih Suka Berobat ke Luar Negeri?