Oleh: Dr. Aprilianto Eddy Wiria, PhD
Setiap tahun WHO menyelenggarakan hari keselamatan pasien dunia. Tema tahun ini adalah keselamatan berobat dengan slogan, Pengobatan Tanpa Membahayakan.
Menurut saya, ini adalah tema yang sangat tepat untuk diangkat, dan sesuai dengan situasi di Indonesia.
Dalam situs WHO dinyatakan, bahwa tujuan Hari Keselamatan Pasien Sedunia 2022 meliputi berbagai upaya, antara lain: meningkatkan kesadaran global akan besarnya kerugian yang terkait pengobatan, yang disebabkan oleh kesalahan pengobatan dan praktik yang tidak aman.
Baca juga: Resisten Antimikroba Masalah Global Serius, Ini Strategi Kurangi Risikonya
Kemudian merekomendasikan dan menyokong tindakan untuk meningkatkan keamanan pengobatan; serta melibatkan para pemangku kepentingan dan para mitra utama, dalam upaya mencegah kesalahan pengobatan dan mengurangi bahaya terkait pengobatan.
Objektif lainnya adalah melibatkan pasien dan keluarganya secara aktif dalam penggunaan obat yang aman dan meningkatkan skala implementasi Tantangan Keselamatan Pasien Global WHO: Obat Tanpa Bahaya.
Hal mendasar yang saya ingin angkat dalam pembahasan kali ini adalah bagaimana kita menggunakan obat secara bijak dalam jangka pendek atau panjang dari sisi pengguna, yaitu pasien dan keluarganya, pelayan medis seperti apoteker dan dokter, hingga pengawas dan pemangku kebijakan seperti badan POM, parlemen dan pemerintah.
Dari begitu banyaknya permasalahan yang ada, ada beberapa poin penting yang bisa kita perbaiki dan renungkan bersama:
1. Pemberian obat dengan rasional
2. Evaluasi penggunaan obat
3. Akses terhadap obat-obatan
4. Kontrol terhadap produksi obat dan pencegahan distribusi obat palsu atau obat kadaluwarsa
5. Regulasi obat tradisional atau obat herbal
Baca juga: Awas Resistensi Antibiotik Makin Tinggi, Pakar Ingatkan Kontrol Ketat Apotek
Tidak jarang resep obat diberikan seperti meluncurkan bom melawan satu orang prajurit musuh.
Contoh, pasien dengan gejala common cold atau infeksi virus mendapatkan obat kombinasi berbagai antibiotika spektrum luas, kortikosteroid, berbagai obat anti radang, bahkan kombinasi berbagai obat dalam satu resep.
Dasar dari pemberian obat ini sering kali tidak jelas. Pertanyaannya, apakah dokternya perlu dikirim untuk belajar lagi? Apakah dokternya perlu diberi sangsi etik?
Atau justru diberi pujian karena melakukan ‘pencegahan super’, sehingga tidak ada bakteri yang selamat atau ikutan menjadi masalah pada orang yang terkena infeksi virus?
Baca juga: Penjualan Bebas dan Konsumsi Antibiotik Berlebihan Tingkatkan Risiko Resistensi Antimikroba
Dalam konteks pengobatan infeksi yang rasional, untuk mengatasi infeksi virus tidak diperlukan antibiotika sebagai obatnya, kecuali ada kecurigaan infeksi sekunder dari bakteri tertentu.
Sehingga, pemberian antibiotika bukanlah upaya pengobatan lini pertama pada infeksi virus.
Pemberian kortikosteroid seperti prednison ataupun dexamethason juga sering kali tidak rasional, karena alasan pemberiannya adalah untuk sekadar menekan gejala, tanpa mempertimbangkan berbagai efek samping.
Apakah pemberian obat yang tidak rasional merupakan kesalahan dari dokter semata? Saya rasa tidak. Pasien pun sering kali meminta pertolongan instan.
Dokter yang mencurigai penyebab demam dan batuk pilek dikarenakan infeksi virus misalnya, sebetulnya tidak perlu memberikan obat, apalagi antibiotika.
Dokter dapat menyarankan pasien untuk istirahat, makan dan minum cukup, olahraga, serta minum vitamin secukupnya.
Tetapi banyak pasien yang protes, bila mendapatkan nasihat istirahat tanpa mendapatkan resep obat, atau bahkan bila tidak diberikan obat infus.
Padahal, nasihat istirahat juga merupakan resep. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional meningkatkan risiko resistensi bakteri dan sangat merugikan.
Karenanya perlu berjalan paralel edukasi ke pasien serta tenaga medis, untuk menggunakan obat secara rasional sesuai kebutuhan.
Baca juga: Resistensi Antibiotik Disebut Silent Pandemic, Begini Dampak dan Bahayanya pada Tubuh