Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Katarak, Faktor Risiko, dan Penanganannya

Kompas.com - 18/03/2022, 12:05 WIB
Mela Arnani,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Katarak masih menjadi penyebab utama kebutaan di seluruh dunia. Secara global, dari 1,1 miliar orang dengan gangguan penglihatan, sekitar 100 juta orang menyandang katarak, dengan 17 juta di antaranya sampai mengalami kebutaan.

Di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) menyebutkan bahwa pada 2017 terdapat 8 juta orang dengan gangguan penglihatan, termasuk 1,6 juta kasus kebutaan. Dari angka kebutaan tersebut, sekitar 1,3 juta atau 81,2 persen diakibatkan oleh katarak.

Selain dampak kesehatan, gangguan penglihatan memberikan pengaruh besar pada ekonomi. Menurut Analisis Lancet Global Health Commissionon Global Eye Health mendapati bahwa ganggun penglihatan menyebabkan kerugian produktivitas setara 410,7 miliar dollar AS per tahun.

Baca juga: Begini Cara Otak Kembali Sadar Setelah Anestesi

“Individu dengan gangguan penglihatan, apalagi yang buta, lebih berisiko kehilangan kesempatan untuk bekerja dan menjalankan aktivitas eknomi,” ujar Spesialis Mata Subspesialis Bedah Katarak dan Refraktif JEC Eye Hospitals & Clinics DR. Dr. Vidyapati Mangunkusumo, SpM(K) seperti dikutip Kompas.com, Jumat (18/3/2022).

Vidyapati menambahkan, orang yang menderita gangguan penglihatan dapat terkendala dalam membaca dan belajar, sampai risiko yang fatal karena kesulitan berkendara. Menurutnya, ketersediaan kesehatan mata yang memadai dan mumpunyi menjadi sangat krusial.

“Tak kalah penting, perkembangan keilmuwan secara terus-menerus guna meningkatkan kualitas penanganan terhadap gangguan penglihatan, khususnya di Indonesia,” tutur Vidyapati.

Baca juga: Bantu Meningkatkan Imunitas, Ini 4 Bahan Herbal yang Cocok Dicampur Madu

Faktor risiko katarak

Vidyapati menyampaikan, katarak bukanlah suatu penyakit, tapi akan diderita semua orang dalam usia tertentu.

“Katarak bukan penyakit, itu keadaan degeneratif, sehingga sulit sekali mencegahnya. Ini akan berpengaruh terhadap umur dan lain-lain,” tutur dia.

Salah satu gejalanya, penglihatan kabur berkabut. Seseorang tidak dapat menatap layar elektronik seperti laptop atau komputer dalam waktu yang lama.

“Dia (pasien saya) bilang bisa nyetir ke tempat kerja tapi nggak bisa kerja, nggak bisa baca lama, lihat komputer setengah jam (matanya) berair,” tutur Vidyapati.

Kondisi ini biasanya mulai kelihatan pada golongan usia 50 tahun, saat seseorang berada di puncak karirnya. Selain itu, seseorang yang menderita miopia tinggi, di atas minus 6, sebesar 64 persen berpotensi menderita katarak.

Baca juga: Apa Saja Manfaat Madu untuk Menjaga Sistem Imunitas Tubuh?

Bagaimana penanganan katarak?

Selama ini, metode fakoemulsifikasi atau operasi di mana bagian lensa mata diambil tanpa merusak kapsul posterior menjadi tindakan operasi yang umum diterapkan pada penderita katarak.

Prosedur ini dinilai lebih aman dan dianggap sebagai gold standard (standar emas) karena hanya membutuhkan luka sayatan kecil dengan waktu penyembuhan yang lebih cepat.

Namun, metode fakoemulsifikasi ternyata memberikan tantangan pada pasien katarak yang menyandang miopia atau rabun jauh tinggi. Risikonya yaitu ketidakstabilan area zonula mata. Padahal, zonula merupakan jangkar transparan dan elastis yang menghubungkan ekuator lensa dengan badan silier dan retina bagian silindris.

Itulah sebabnya, Vidyapati menggagas pendekatan baru untuk tindakan operasi katarak pada pasien dengan miopia (rabun jauh) tinggi, yaitu implantasi Capsular Bag Tension Ring (CTR).

CTR adalah perangkat berbentuk C yang digunakan untuk menstabilkan kantong kapsul lensa kristalin selama operasi katarak pada mata dengan kelemahan zonula.

Dia melakukan penelitian yang tertuang dalam disertasi berjudul "Peran Capsular Tension Ring Pada Populasi Miopia Tinggi yang Menjalani Fakoemulsifikasi Terhadap Optimalisasi Penglihatan dan Efisiensi Menjaga Kestabilan Area Zonula".

Baca juga: 13 Manfaat Petai untuk Kesehatan, Apa Saja?

Penelitian ini berlangsung mulai Mei 2019 hingga Juni 2020 dengan melibatkan 51 subjek, dan akan disampaikan pada Ujian Terbuka Doktor, Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

“Penelitian ini bertujuan memberikan solusi bagi penderita katarak dengan miopia tinggi agar memiliki opsi tindakan penanganan yang lebih presisi dan ama,” kata dia.

Terlebih, lanjut Vidyapati, pasien dengan miopia tinggi memiliki prevalensi 62 persen menjadi katarak pada usia lebih dini, bahkan dalam rentang masa produktif.

“Dengan penanaman CTR yang tepat, pasien dapat terbebas dari penyakit katarak dan penglihatannya kembali optimal. Dengan demikian pasien dapat kembali mandiri dan produktif,” paparnya.

Sesudah operasi

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan setelah seseorang menjalani operasi katarak, seperti mata tidak boleh terkena air, harus menggunakan tetes mata secara teratur, dan menghindari mata terbentur.

Sementara itu, guna mengetahui potensi terjadinya penyakit katarak sedini mungkin, seseorang sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mata secara berkala sejak usia 40 tahun ke atas, dengan frekuensi dua tahun satu kali.

“Cek mata lengkap,” ujar Vidyapati.

Adapun bagi kelompok usia di atas 50 tahun, dapat melakukan pengecekan mata setahun sekali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com