Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Danur Lambang Pristiandaru
Wartawan

Content Writer Lestari Kompas.com
Alumnus Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan

Darurat Kenaikan Suhu Bumi, Darurat Energi Terbarukan

Kompas.com - 24/07/2020, 16:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Baru-baru ini, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis outlook tahunan dan memprediksi suhu bumi akan naik sekitar 1 sampai 1,5 derajat celcius setiap tahun pada lima tahun ke depan.

Padahal, menurut rilis berjudul WMO Global Annual to Decadal Climate Update for 2020-2024 tersebut, tahun 2014 hingga 2019 sudah merupakan tahun terhangat. Bisa dibayangkan betapa hangatnya bumi lima tahun mendatang?

Sejumlah negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sebenarnya sudah meratifikasi Paris Agreement atau Kesepakatan Paris. Paris Agreement ini merupakan konferensi tingkat tinggi (KTT) untuk mencegah kenaikan suhu global lebih lanjut sejak sebelum Revolusi Industri.

Untuk menyegarkan ingatan pembaca, dalam Paris Agreement tersebut, terbentuk kesepakatan untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius dari masa sejak Revolusi Industri.

Kalau pun bisa, kenaikan suhu bumi dijaga agar tidak naik 1,5 derajat celcius sejak Revolusi Industri. Kesekapatan tersebut harusnya sudah dimulai pada 2021.

Bahkan sejak Paris Agreement diratifikasi, ada KTT perubahan iklim lanjutan dari PBB bernama COP25 di Madrid, Spanyol. COP25 sedianya digelar untuk mempercepat aksi dalam mencegah kerusakan iklim akibat pemanasan global. Namun, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kecewa dengan hasilnya.

Guterres menganggap hasil dari COP25 kurang mengikat dan cenderung mengambang terhadap sejumlah negara penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK). Emisi GRK inilah biang keladi terhadap perubahan iklim dan naiknya suhu global.

Maka, bila membandingkan target capaian Paris Agreement dengan prediksi kenaikan suhu bumi, kiranya kita telah mencapai tahap peringatan. Apakah kita akan terus meningkatkan produksi emisi GRK melalui aktivitas manusia yang sekarang ini kurang ramah lingkungan, atau ikut menekan kenaikan suhu bumi dengan berbagai cara.

Beberapa waktu lalu, Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) merilis laporan bahwa 54,6 persen peningkatan emisi GRK berasal dari pembakaran minyak bumi dan proses industri. Sektor energi menyumbang emisi sebesar 33,6 persen sedangkan sektor industri menyumbang sekitar 21 persen.

Sektor penyumbang emisi terbesar lain adalah pengalihan lahan, petanian, dan perhutanan dengan kontribusi sebesar 24 persen. Sedangkan transportasi menyumbang sekitar 14 persen dari total emisi global. Sisanya, 6,4 persen, disumbang oleh sektor bangunan.

Di Indonesia, tren kenaikan produksi emisi GRK terus mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2016, emisi GRK rata-rata naik 5 persen setiap tahun. Kini, produksi emisi GRK sudah mencapai 556 juta ton setara karbon dioksida berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2018 yang dirilis oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dari total emisi tersebut, sebesar 48 persen disumbang oleh pembangkit listrik. Transportasi dan industri menyumbang masing-masing 21 persen dari total emisi GRK.

Dilansir dari Kompas.com, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengkaji dan mengamati suhu di Jakarta sejak zaman pendudukan Belanda hingga sekarang atau kurang lebih selama 150 tahun.

Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan suhu rata-rata yang signifikan yaitu 1,6 derajat celcius dari tahun 1866 hingga 2012.

Laju peningkatan suhu tersebut cukup dapat dibandingkan dengan hasil analiis WMO, yaitu kenaikan suhu global sebesar 1,1 derajat celcius sejak masa sebelum Revolusi Industri pada 1850-1900, yang dijadikan sebagai garis dasar periode acuan perubahan iklim global.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com