Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandemi Covid-19 dan Penentuan Awal Ramadhan 2020 dengan Rukyatul Hilal dan Hisab

Kompas.com - 22/04/2020, 12:05 WIB
Amir Sodikin

Editor

Lewat observasi modern pula diketahui meskipun kita dapat menetapkan kriteria pembatas (kriteria visibilitas) bagi terlihatnya hilal berdasarkan parameter tertentu (misalnya tinggi, elongasi, umur Bulan maupun beda azimuth).

Kriteria visibilitas seperti itu yang dikenal sebagai hisab. Namun observasi modern menunjukkan garis batas ini tidaklah rigid karena memiliki nilai ketidakpastian / galat (Schaefer, 1994).

Dengan kata lain, meskipun parameter Bulan sedikit berada di bawah sebuah kriteria visibilitas, peluang terlihatnya hilal masih tetap terbuka.

Hal ini membuat kriteria visibilitas sebagai sebuah hipotesis verifikatif yang belum konklusif, meskipun diformulasikan sebagai piranti guna menalar–logiskan hilal sebagai bagian dari Bulan.

Tetapi hilal memiliki hukum–hukum alamiahnya sendiri yang bisa lepas dari piranti matematis yang mencoba menghitungnya ketika nilai ketidakpastian diperhitungkan.

Sifat demikian menjadi tantangan tersendiri mengingat syariat Islam membutuhkan batas yang rigid. Hitam atau putih, tidak abu–abu.

Karena terlihat atau tidaknya hilal menentukan halal dan haram khususnya dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan. Dalam perspektif demikian maka kedudukan rukyatul hilal untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan menjadi penting guna mengatasi ketidakpastian.

Wajib

Syariat Islam mengatur hal–hal terkait aktivitas peribadatan harus merujuk pada teks Al Quran dan al–Hadits. Seperti bagaimana tata cara mendirikan shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan ibadah haji hingga mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan.

Berpuasalah (dan berhari raya) jika melihat hilal jika tidak terlihat maka genapkanlah, demikian sabda Rasulullah SAW.

Dengan pemahaman tersebut maka rukyatul hilal guna menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1441 H tetap diselenggarakan Nahdlatul Ulama. Karena rukyatul hilal dipandang sebagai ibadah wajib–komunal (fardhu kifayah) yang harus dilakukan dalam sebuah negeri (komunitas) sebagai satu kesatuan masyarakat.

Contoh populer ibadah wajib–komunal adalah shalat jenazah, dimana seluruh Muslim pada negeri itu akan berdosa bila tak satupun melaksanakan tetapi apabila satu saja yang tergerak (menyalatkan jenazah tersebut), maka gugurlah kewajiban itu.

Imam al–Ghazali dalam kitabnya al–Ihya’ Ulumiddin mendeskripsikan sejumlah aspek terkait ibadah wajib–komunal, di antaranya menguasai cabang ilmu yang berat (seperti ilmu falak) di mana hanya orang tertentu yang bisa mempelajarinya.

Namun lewat penguasaan ilmu tersebut maka masyarakat dapat beraktivitas ibadah wajib–personal (fardhu ‘ain) dan beraktivitas sosial dengan jiwa dan raga yang tenteram tanpa diliputi syak wasangka.

Dalam praktik keberagamaan Islam di Indonesia, kedudukan rukyatul hilal ditegaskan salah satunya dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke–33 tahun 1999 di pondok pesantren Lirboyo (Jawa Timur).

Lewat keputusan tersebut rukyatul hilal tak lagi sekedar berdimensi syariat namun juga kebangsaan. Rukyat hilal tak semata ibadah wajib–komunal, namun juga menjadi bagian upaya merekatkan negeri ini lewat diktum Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah–hukum (wilayatul hukmi).

Di tengah berkecamuknya wabah Covid–19, ibadah wajib–komunal tetap terselenggara meski dengan batasan tertentu. Hal itu dapat kita lihat dalam penyelenggaraan shalat jenazah untuk Muslim penderita Covid–19 yang wafat.

Fatwa MUI nomor 18 tahun 2020 menempatkan penderita sebagai syahid akhirat dalam pandangan agama sehingga hak–haknya tetap harus dipenuhi. Hak–hak tersebut mulai dari dimandikan, dikafani, dishalati dan dikebumikan.

Dalam praktiknya shalat jenazah bagi Muslim penderita Covid–19 tetap berlangsung, meskipun jenazah tidak disemayamkan di rumah duka terlebih dahulu karena sesuai protokol kesehatan harus langsung dihantarkan ke pemakaman.

Maka shalat jenazah tersebut diselenggarakan hanya oleh petugas pemulasaraan. Dengan analogi tersebut, rukyatul hilal bagi penentuan awal dan akhir Ramadhan 1441 H dapat tetap terselenggara sepanjang memenuhi batasan ketat terkait protokol kesehatan.

Selain memandang dari aspek ibadah, posisi Nahdlatul Ulama terhadap rukyatul hilal juga bersandar pada aspek sosio–kultural. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia pada saat ini.

Berdasarkan survei keberagamaan Muslim 2016 menunjukkan 64 persen Muslim Indonesia bersandar pada rukyatul hilal dalam penentuan hari besar Islam (Alvara Research Center, 2017).

Bila proporsi tersebut dikonversi menjadi kuantitas berdasarkan jumlah penduduk Indonesia tahun 2016, maka akan diperoleh populasi yang lebih besar ketimbang sekitar 90 juta Muslim Indonesia yang menjadi warga Nahdlatul Ulama.

Populasi sebesar itu tak bisa dinafikan begitu saja oleh para pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan terkait hari–hari besar agama Islam di Indonesia. Hari–hari yang tak sekadar momen besar suatu agama namun juga kerap bertransformasi menjadi kegiatan budaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com