Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cendana Aceh dan NTT Berkerabatkah?

Oleh: Eko Pujiono dan Hery Kurniawan

BERBINCANG mengenai cendana pada umumnya ingatan kita akan langsung tertuju pada sebuah kayu wangi yang berasal dari kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun pernahkah kita menerima informasi atau sekedar berandai-andai mungkinkah terdapat cendana di negeri serambi Mekkah?

Beberapa riwayat ataupun informasi menyebutkan bahwa di Aceh khususnya Aceh Besar, terdapat satu jenis kayu wangi yang kemudian lebih dikenal dengan istilah cendana jenggi.

Wanginya sama meski kekuatan aromanya sedikit berbeda dengan cendana (Santalum album L.) yang berasal dari NTT, namun keberadaannya telah lama dikenal dan diburu banyak pedagang, sehingga berakibat mulai langkanya jenis ini di alam.

Lalu sebenarnya apakah cendana jenggi itu? Mengapa muncul istilah cendana jenggi? Apakah jenis ini masih sama dengan jenis S. album yang ada di NTT? Bila memang sama lalu dari manakah asalnya? Apakah masih ada kekerabatan antara cendana asal Aceh dengan asal NTT?

Satu informasi menyebutkan bahwa cendana Aceh di pasaran dikenal dengan istilah cendana jenggi.

Sedangkan dalam nomenklatur ilmiah cendana jenggi merupakan cendana dari jenis Santalum spicatum. Untuk memastikannya, ada baiknya kita mengenal lebih jauh kedua jenis ini.

Di Australia S. spicatum sering disebut sebagai Western Australian sandalwood. Jenis ini di Australia ditanam secara komersil dalam skala industri kecil ataupun menengah dan sesuai pada curah hujan tahunan yang cukup rendah yakni sekitar 350 mm (Brand et al. 2007).

Santalum spicatum adalah jenis hemi-parasit akar (sama dengan S.album) dalam bentuk semak atau perdu ataupun pohon kecil dan merupakan jenis asli di wilayah semi-arid Australia Selatan dan Barat (Hewson dan George, 1984).

Kayunya biasa dimanfaatkan untuk kerajinan ornamen kayu termasuk ukiran. Sedangkan minyaknya biasa digunakan untuk parfum, kosmetik dan obat-obatan (Piggot dkk. 1997).

Penjualan dari hasil pemanenan jenis ini yang berasal dari vegetasi alam yang tersisa diperoleh profit 2,3 juta dollar Australia pada tahun 2019-2020, untuk Negara bagian Western Australia (FPC, 2019).

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh masih terbukanya pangsa pasar akibat defisitnya suplai minyak cendana di pasaran yang mencapai 80 ton per tahunnya. Cendana jenggi sebagai salah satu alternatif mengambil peranan untuk mengisi kekosongan pasar ini.

Meskipun memiliki persyaratan tumbuh dan habitat yang relatif sama, namun kedua jenis ini memiliki perbedaan dari sisi morfologi maupun kualitas kayunya.

Santalum album mampu tumbuh menjadi pohon besar dengan ketinggian mencapai belasan meter dan diameter yang cukup besar pula. Beberapa sisa tonggak cendana menunjukkan bahwa pohon ini mampu tumbuh mencapai diameter pangkal yang lebih dari 2 meter.

Sementara itu cendana jenggi jenis S. spicatum, hanya merupakan pohon kecil dengan tinggi maksimal sekitar 5 meter dan diameter sekitar 10 cm saja.

Bentuk buah sama-sama bulat, hanya saja ukuran buah S. album lebih kecil dibandingkan S. spicatum (bisa hanya seperempat nya saja).

Warna buah S. album yang masih muda berwarna hijau dan merah, yang tua berwarna hitam. Sedangkan S. spicatum warna buahnya yang tua adalah coklat kemerahan.

Pada daun, bentuknya dapat dibedakan dengan pengamatan sederhana. Daun S. spicatum relatif lebih lonjong dan ramping namun lebih tebal dibandingkan daun S. album.

Minyak dari kedua jenis ini mengandung α-santalol dan β-santalol yang menentukan kualitas kayu atau minyaknya.

Kandungan santalol pada S. spicatum hanya kurang lebih setengahnya dari S. album. Kedua jenis ini memiliki pasar masing-masing, terlebih dengan defisitnya suplai minyak cendana di pasar internasional.

Itulah sebabnya mengapa populasi kedua jenis ini semakin berkurang di alam. Bahkan untuk jenis S. album saat ini status konservasinya menurut IUCN adalah vulnerable (terancam punah).

Pada beberapa lokasi penanaman yang pernah dicobakan, persen hidup S. album seringkali mengalami kegagalan baik karena daya adaptifnya yang kurang maupun karena serangan hama dan penyakit terutama serangan kutu sisik pada usia muda.

S. spicatum dengan bentuknya yang relatif kecil menyerupai perdu dengan daun yang lebih tebal diduga memiliki kemampuan bertahan hidup lebih besar dibandingkan S. album.

Tanaman ini juga mampu hidup pada lokasi yang memiliki kondisi kering ekstrem dengan curah hujan tahunan yang hanya sekitar 300 mm.

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa jenis S. spicatum memiliki jangkauan elevasi yang lebih rendah dari S. album, elevasi maksimal bagi S. spicatum adalah sekitar 500 meter, sedangkan S. album mampu mencapai ketinggian hingga di atas 1000 meter.

Seperti tumbuhan hemi parasit pada umumnya, S. album dan S. spicatum juga memerlukan tanaman inang untuk menyokong hidupnya.

Beberapa jenis inang yang potensial bagi S. spicatum diantaranya adalah dari jenis-jenis akasia seperti acuminata Benth, A. aneura F Muell ex Benth, and A.tetragonophylla F Muell, Allocasuarina, Melaleuca dan beberapa jenis herba (Fox 1997).

Tanaman inang disarankan karena perannya sebagai sumber berbagai unsur yang diperlukan oleh cendana.

Rasio K/Ca untuk daun semai S. album dan daun S. spicatum yang telah dewasa adalah sama. Tingginya rasio ini pada kedua jenis menandakan kecenderungan serapan nutrisi K daripada Ca yang berasal dari tanaman inang, hal ini adalah umum untuk tanaman angiosperm yang bersifat parasit (Struthers et al., 1986).

Sandalwood (istilah dagang global untuk menyebut cendana) dari kedua jenis ini memiliki habitat di wilayah semi arid dengan kondisi lahan yang berbatu dan solum tanah yang tipis.

Di NTT cendana tumbuh di daerah batuan induk berkapur-vulkanis, tanah dangkal berbatu, tekstur tanah lempung, pH tanah netral-alkalis, Kadar N sedang, P2O5 sedang–tinggi, warna tanah hitam, merah-coklat, jenis tanah pada umumnya litosol, mediteran dan tanah kompleks. (Hamzah,1976).

Beberapa hal yang menunjukkan kemiripan karakteristik S. spicatum dengan S. album menjadi indikasi awal bahwa S. spicatum memiliki peluang untuk dapat dibudidayakan di beberapa lokasi di Indonesia, termasuk di Aceh Besar yang sudah memiliki catatan sejarah tentang adanya cendana di Aceh Besar.

Santalum album dianggap merupakan jenis cendana yang paling bernilai, dengan kayu terasnya yang telah matang mengandung 5–7 persen minyak dengan total santalol mencapai 85 persen (Mckinnell 1990; Rai 1990).

Sebaliknya, S. spicatum merupakan jenis cendana yang dianggap kurang bernilai secara komersil di masa lalu, dengan kayunya (teras + gubal) mengandung hingga 3 persen minyak dan total santalol hingga 40 persen.

Alasan karakteristiknya yang mirip dengan S. album dan mudah tumbuh, menjadikan cendana jenggi memiliki peluang untuk mengambil sebagian pangsa pasar cendana yang saat ini masih mengalami defisit suplai.

Cendana jenggi memiliki potensi besar untuk muncul sebagai alternatif pengganti cendana yang saat ini masih kekurangan dalam hal suplai kayu maupun produk turunannya.

Harga jual S. album dengan kualitas terbaik di pasaran per kilogramnya saat ini bisa mencapai 500.000 rupiah, bahkan lebih. Dengan kualitas minyak S. spicatum yang kurang lebih hanya setengahnya dari S. album, maka dapat diasumsikan bahwa harga jualnya per kilogram adalah 250.000 rupiah.

Dengan harga jual yang demikian dan kemampuan tumbuhnya yang cukup mudah, maka peluang untuk membudidayakannya menjadi semakin menarik.

Meski memiliki kesamaan, kedua jenis ini tetap merupakan spesies yang berbeda. Pembuktian secara ilmiah diperlukan untuk memastikan cendana Aceh termasuk jenis yang mana.

Berdasarkan hasil penelitian Nurochman dkk. (2019), diketahui bahwa cendana Aceh memiliki kedekatan secara genetik dengan cendana NTT, dengan perbedaan genetik hanya 16 persen. Lebih lanjut dikatakan hal ini menunjukkan cendana yang ada di Aceh kemungkinan besar berasal dari NTT.

Sebelumnya eksplorasi oleh Kholibrina dkk. (2015), menyatakan bahwa sebaran cendana di Aceh setidaknya terdapat di Desa Kulee, Kecamatan Batee dan Desa Pawood di Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, serta di Desa Ujong Keupula di Kecamatan Seulimeun, Kabupaten Aceh Besar.

Berdasarkan identifikasi taksonomi, cendana ini merupakan jenis S.album. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa cendana Aceh merupakan jenis yang sama dengan cendana NTT, yakni Santalum album.

Sebutan cendana jenggi yang muncul di pasaran untuk cendana Aceh, kemungkinan disebabkan perbedaan kekuatan aroma dan warna kayunya karena perbedaan tempat tumbuh. Sebagaimana dijelaskan bahwa S.spicatum memiliki aroma wangi yang tak sekuat S. album, dan warna kayunya cenderung merah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cendana Aceh dan NTT adalah jenis cendana Santalum album yang memiliki kekerabatan cukup dekat. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Menarik untuk diungkap melalui penelitian-penelitian berikutnya

Eko Pujiono dan Hery Kurniawan
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi - Badan Riset dan Inovasi Nasional

https://www.kompas.com/sains/read/2023/11/17/123400723/cendana-aceh-dan-ntt-berkerabatkah-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke