Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketahui Apa Itu Zoonosis dan Cara Mencegah Penyebarannya Menurut Pakar

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 belum usai, namun dunia saat ini tengah berhadapan dengan wabah lain yaitu cacar monyet. 

Mengutip laman resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (3/8/2022) Covid-19 dan cacar monyet merupakan contoh penyakit zoonosis.

Adapun zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan liar, ternak, maupun domestik (hewan peliharaan), ke manusia. Patogen yang ditularkan pun bisa berupa bakteri, virus, parasit, dan jamur.

Peneliti Ahli Muda, Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Pandji Wibawa Dhewantara memaparkan, zoonosis bisa menular melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan.

Kontak langsung misalnya, akibat paparan langsung dengan darah, saliva atau air liur, tinja, atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi.

Sedangkan penularan melalui kontak tidak langsung, dapat terjadi melalui konsumsi makanan yang telah terkontaminasi urine, atau saliva dari hewan yang terinfeksi.

Sejumlah hewan seperti kelelawar, tikus, primata, babi, dan unggas diketahui merupakan makhluk yang secara alami membawa atau menjadi reservoir patogen, dan dapat ditularkan ke hewan maupun ke manusia.

Serangga seperti nyamuk, dan mamalia seperti babi, kuda, primata, dan unta dapat menjadi inang penyakit dari hewan ke manusia. 

Malaria zoonotik merupakan penyakit infeksi parasit Plasmodium knowlesi yang bersumber dari primata seperti monyet ekor panjang dan kera, dan ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles.

“Nyamuk menghisap darah primata (yang terinfeksi). Kemudian, misalnya, ada pemburu atau masyarakat yang masuk ke hutan. Tidak sengaja tergigit oleh nyamuk Anopheles yang sudah membawa parasit Plasmodium tadi,” ungkapnya.

Lingkungan yang memicu penyakit zoonosis

Sebagian besar zoonosis timbul akibat adanya faktor lingkungan, termasuk aktivitas dan interaksi manusia dengan alam, seperti perambahan hutan, perubahan tata guna lahan untuk pertanian, industri, dan pemukiman akibat tekanan penduduk, konsumsi satwa liar, serta urbanisasi.

Sugiyono Saputra, Peneliti Ahli Pertama dari Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN menerangkan, loncatan patogen dari hewan ke manusia (spillover) dapat terjadi karena adanya interaksi, baik langsung ataupun tidak langsung antara reservoir alami (hewan pembawa patogen) dengan hewan lainnya maupun manusia.

“Dengan adanya interaksi, patogen yang dibawa oleh reservoir alami (satwa liar) juga berpotensi ditransmisikan ke hewan lainnya (ternak atau domestik) kemudian ke manusia, atau ditransmisikan langsung dari satwa liar ke manusia,” ujarnya.


Deforestasi, lanjut dia, membuat habitat asli dari satwa liar tersebut terganggu dan berisiko meningkatkan kontak antara manusia dan satwa liar.

Perburuan dan perdagangan satwa liar turut meningkatkan risiko penularan penyakit, contohnya virus Hendra di Australia dipicu fragmentasi hutan dan urbanisasi.

Sugiyono berkata, faktor budaya atau kearifan lokal setempat juga bisa menjadi salah satu penyebab munculnya zoonosis.

Kemungkinan penularan virus bisa terjadi dari primata ke manusia, antara lain karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengonsumsi daging mentah primata, serta maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar.

“Tanpa pengolahan dan proses pematangan yang baik, maka potensi terinfeksi penyakit zoonosis akan semakin tinggi,” tutur Pandji.

Sugiyono mencatat, selain interaksi dengan reservoir alami pembawa patogen dan faktor budaya setempat, tingkat biosecurity (tindakan pencegahan agar patogen tidak bertransmisi ke manusia), sanitasi, dan kebersihan yang rendah juga dapat meningkatkan risiko infeksi zoonosis.

Potensi Indonesia sebagai hotspot zoonosis

BRIN menyebut, adanya kebutuhan pangan manusia yang kian meningkat, mendorong perubahan tata guna lahan ataupun deforestasi untuk lahan pertanian ataupun industri.

Disparitas ekonomi antarwilayah dinilai mendorong laju urbanisasi. Sementara, emisi gas rumah kaca (GRK) makin meningkat. Semua faktor tersebut pada akhirnya berakumulasi mendorong pemanasan global, dan perubahan iklim.

“Perubahan iklim pada akhirnya akan mengamplifikasi risiko penularan zoonosis itu sendiri,” tutur Pandji.

Secara geografis, letak Indonesia dilewati oleh garis zamrud khatulistiwa dengan iklim tropis. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Meski begitu, menurut Sugiyono potensi munculnya zoonosis justru sangat perlu diwaspadai.

“Artinya, host atau reservoir alami yang membawa patogen berbahaya juga kemungkinan jumlah dan jenisnya jauh lebih banyak dibandingkan daerah lain,” ucap dia.

Faktor kelembapan, curah hujan, dan temperatur di suatu daerah juga akan memengaruhi kemunculan patogen tersebut.

“Memang tempat yang lebih hangat cenderung disukai oleh beberapa patogen, terutama yang ditransmisikan melalui vektor,” terang Sugiyono.

Keterkaitan perubahan iklim dengan risiko transmisi virus antar spesies dikemukakan dalam studi oleh Carlson, C. J. et al. tahun 2022 yang dipublikasikan di Nature.

Sementara itu, Pbt. Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Sandi Sufiandi menjabarkan studi ini menyimulasikan kemungkinan skenario interaksi dari empat lapisan, yaitu virus, hewan, manusia, dan lingkungan.

Studi menemukan setidaknya ada 10.000 spesies virus memiliki kapasitas menginfeksi manusia, yang bisa ditransmisikan melalui 3.139 spesies mamalia di daerah tropis.

Negara dengan iklim tropis dengan jumlah penduduk padat seperti India dan Indonesia, dinilai memiliki risiko tinggi dalam penularan penyakit zoonosis.

“Studi ini sebagai acuan kita untuk merespons, dari ribuan spesies mamalia tersebut, potensi risiko terbesar salah satunya di Indonesia. Sehingga dengan basis ini, kita bisa membuat skenario mitigasinya seperti apa,” jelas Sandi.

Demografi penduduk, masalah malnutrisi dan penyakit tidak menular di masyarakat pun memengaruhi tingkat risiko penularan maupun keparahan akibat zoonosis itu sendiri.

“Populasi penduduk muda dengan mobilitas tinggi, dan juga populasi lansia yang rentan akan memengaruhi variasi imun dan laju penularan penyakit, ditambah masalah malnutrisi pada anak-anak dan juga komorbid, membuat risiko penularan dan beban penyakit infeksius di Indonesia berpotensi cukup tinggi,” kata Pandji.


Riset zoonosis di Indonesia

Pandji serta tim yang terlibat dalam Kelompok Riset Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis, tengah melakukan kajian sistematik mengenai kaitan perubahan iklim dengan penyakit tular vektor dan zoonosis di Indonesia.

Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang risiko penularannya cukup tinggi, dilakukan pula studi lanjutan bersama Kementerian Kesehatan dan universitas terkait malaria zoonotik, leptospirosis, dan Japanese encephalitis.

Sugiyono yang menjadi ketua peneliti untuk surveilans potensi penyakit zoonosis potensial dan penyakit menular di Indonesia, terutama yang berasal dari satwa liar yang diperdagangkan memastikan tengah memantau virus dari kelelawar, tikus, burung, dan beberapa hewan lain.

Proyek ini berkolaborasi dengan Australian Centre for Disease Preparedness (ACDP)-CSIRO, Australia.

Para peneliti melakukan survei di beberapa pasar hewan yang memperdagangkan satwa liar, antara lain di daerah Sulawesi dan Jawa.

“Dari kegiatan ini, nanti kita bisa karakterisasi ada patogen apa di sana (pasar), apakah ada virus Corona, Nipah, influenza, dan sebagainya. Karena kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi spillover tersebut, makanya harus terus kita pantau,” beber Sugiyono.

Untuk mendukung riset terkait zoonosis, saat ini BRIN sedang melakukan pemetaan keanekaragaman genetika.

Kemampuan whole genome sequencing (WGS), penyimpanan data spesimen, dan kemampuan bioinformatika, akan mengakselerasi dan membuka peta keanekaragaman genetika, khususnya virus.

Mencegah penyebaran zoonosis

Menurut Pandji, terdapat sejumlah penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan adanya kemunculan reverse zoonosis. Artinya, penularan penyakit tidak hanya terjadi dari hewan ke manusia, bahkan dari manusia bisa ditularkan kembali ke hewan.

Oleh karena itu, konsep One Health terus didengungkan di tingkat global, untuk mencegah dan mengendalikan penyakit berdasarkan aspek, kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Misalnya, ketika menanggulangi rabies, tidak hanya fokus pada sektor peternakan atau sisi kesehatan hewan saja. 

Edukasi kepada masyarakat untuk memberikan vaksin pada anjing peliharaannya, juga penting guna menjaga kesehatan lingkungan, dan memastikan mereka bisa mengakses obat atau terapi akibat gigitan anjing, sehingga penularan rabies dapat dikendalikan.

Monitoring atau surveilans terhadap kemunculan penyakit infeksi baru perlu ditingkatkan.

Riset terkait bidang kesehatan, perbaikan infrastruktur dan kesiapsiagaan dalam menghadapi penyakit infeksi baru, dan riset terkait obat-obatan itu memerlukan kolaborasi tidak hanya di tingkat nasional, melainkan di tingkat global.

“Yang kami lakukan sekarang salah satunya akan membantu pemerintah dan juga secara global dalam memonitor patogen berbahaya dari satwa liar. Hasilnya nanti bisa dijadikan basis atau bukti bahwa perdagangan satwa liar untuk konsumsi, serta adanya interaksi di dalamnya memang berisiko tinggi terjadinya spillover,” pungkas Sugiyono.

Dengan data keanekaragaman genetika, proses pengolahan menjadi data digital dari sampel melalui kemampuan bioinformatika, dan kolaborasi riset obat-obatan dan imuno, menurut Sandi, akan menjadi modal dasar dalam menjawab tantangan munculnya zoonosis.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/05/120500423/ketahui-apa-itu-zoonosis-dan-cara-mencegah-penyebarannya-menurut-pakar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke