Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Studi: Virus Corona dapat Bertahan Berbulan-bulan di Hati dan Otak

KOMPAS.com - Virus corona penyebab Covid-19 dapat menyebar dalam beberapa hari dari saluran pernapasan ke jantung, otak, dan hampir setiap sistem organ dalam tubuh.

Ditemukan bahwa terkadang virus dapat bertahan di dalam tubuh, bahkan setelah gejala awal seseorang telah mereda.

Sebuah penelitian menemukan, virus yang telah menyebar tersebut dapat bertahan selama berbulan-bulan.

Peneliti di Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat melakukan analisis komprehensif mengenai distribusi dan persistensi virus SARS-CoV-2 di dalam tubuh dan otak. Terungkap, patogen mampu bereplikasi dalam sel manusia jauh lebih lama.

Penelitian telah dirilis secara online dalam sebuah manuskrip yang tengah ditinjau untuk diterbitkan di jurnal Nature.

Hasilnya menunjukkan penundaan pembersihan virus sebagai kontributor potensial terhadap gejala yang terus-menerus melanda penderita Covid-19.

Memahami mekanisme bertahannya virus bersama dengan respons tubuh terhadap reservoir virus apa pun, membantu meningkatkan perawatan bagi penderita.

“Untuk waktu yang lama, kami bertanya mengenai pengaruh Covid-19 dalam banyak sistem organ. Makalah ini menjelaskan mengapa infeksi terjadi lama bahkan pada orang yang memiliki gejala akut ringan atau tanpa gejala,” ujar Direktur Pusat Epidemiologis Klinis di Sistem Perawatan Kesehatan St. Louis Ziyad Al-Aly seperti dikutip dari NDTV, Kamis (30/12/2021).

Kendati begitu, temuan dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini belum ditinjau para ilmuwan independen dan sebagian besar terkait dengan data yang dikumpulkan dari kasus Covid-19 yang fatal, bukan pasien dengan infeksi lama atau disebut sekuele pasca-akut SARS-CoV-2.

Temuan kontroversial

Kecenderungan virus corona menginfeksi sel-sel di saluran pernapasan dan paru-paru masih diperdebatkan. Banyak penelitian memberikan bukti yang mendukung dan menentang atas kemungkinan bahwa virus corona bertahan di otak dan hati.

Adapun penelitian yang dilakukan di NIH di Bethesda, Maryland, didasarkan pada pengambilan sampel dan analisis jaringan ekstensif yang diambil selama otopsi pada 44 pasien yang meninggal setelah tertular virus corona selama tahun pertama pandemi terjadi di AS.

Dijelaskan bahwa beban infeksi di luar saluran pernapasan dan waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan virus dari jaringan yang terinfeksi tidak ditandai dengan baik, terutama di otak.

Terdeteksi RNA SARS-CoV-2 yang persisten di beberapa bagian tubuh, termasuk daerah di seluruh otak, selama 230 hari setelah timbulnya gejala.

Ini kemungkinan menunjukkan infeksi dengan partikel virus yang rusak, yang telah dijelaskan dalam infeksi persisten dengan virus campak, jelas peneliti.

"Kami tidak sepenuhnya memahami Covid-19 yang lama, tetapi perubahan ini dapat menjelaskan gejala yang sedang berlangsung," kata profesor biosekuriti global di University of New South Wales di Sydney Raina MacIntyre, yang tidak terlibat dalam penelitian.

Kendati begitu, para peneliti belum dapat memprediksi beban penyakit kronis yang ditimbulkan ke depan.

Berbeda dengan penelitian otopsi Covid-19 lainnya, pengumpulan jaringan post-mortem yang dilakukan tim NIH lebih komprehensif dan biasanya terjadi dalam waktu sekitar satu hari setelah kematian pasien.

Para peneliti juga menggunakan berbagai teknik pengawetan jaringan untuk mendeteksi dan mengukur tingkat virus, serta menumbuhkan virus yang dikumpulkan dari beberapa jaringan, termasuk paru-paru, jantung, usus kecil, dan kelenjar adrenal dari pasien Covid-19 yang meninggal selama minggu pertama sakit.

"Hasil kami secara kolektif menunjukkan bahwa sementara beban tertinggi SARS-CoV-2 ada di saluran pernapasan dan paru-paru. Virus dapat menyebar lebih awal selama infeksi dan menginfeksi sel di seluruh tubuh, termasuk secara luas di seluruh otak,” ujar para penulis.

Fase viremik

Para peneliti NIH berpendapat, infeksi pada sistem paru-paru dapat mengakibatkan fase viremik awal, yakni virus hadir dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, bahkan pada pasien yang mengalami gangguan ringan atau tidak bergejala.

Salah satu pasien dalam studi otopsi merupakan seorang remaja yang kemungkinan meninggal karena komplikasi kejang yang tidak terkait. Hal ini menunjukkan anak-anak yang terinfeksi tanpa Covid-19 yang parah juga dapat mengalami infeksi sistemik.

Pembersihan virus yang kurang efisien dalam jaringan di luar sistem paru kemungkinan terkait dengan respons kekebalan yang lemah di luar saluran pernapasan.

Sementara itu, RNA SARS-CoV-2 terdeteksi di otak pada keenam pasien otopsi yang meninggal lebih dari sebulan setelah mengembangkan gejala, termasuk satu pasien yang meninggal dunia dalam waktu 230 hari setelah timbulnya gejala.

Fokus pada beberapa area otak sangat membantu memahami penurunan neurokognitif atau kabut otak dan manifestasi neuropsikiatri lainnya dari Covid-19 panjang.

“Kita perlu mulai memikirkan SARS-CoV-2 sebagai virus sistemik yang mungkin hilang pada beberapa orang, tapi pada orang lain dapat bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan menghasilkan Covid yang lama, gangguan sistemik multifaset,” pungkas penulis.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/31/100200723/studi--virus-corona-dapat-bertahan-berbulan-bulan-di-hati-dan-otak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke