Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Pembelajaran dari Kasus Baim Wong, Kakek Suhud dan Nikita Mirzani?

KOMPAS.com - Sikap Baim Wong marahi Kakek Suhud mengundang berbagai reaksi menarik, baik oleh netizen, masyarakat umum, maupun di kalangan para artis, seperti Nikita Mirzani. Namun, apa pembelajaran yang bisa diambil dari kasus ini?

Sosiolog UGM AB Widyanta memandang kasus Baim Wong marahi Kakek Suhud dan komentar Nikita Mirzani, sebagai bagian dari teori dramaturgi sosial.

Teori ini, kata Widyanta mengacu antara latar depan atau front stage dan latar belakang yakni back stage. Aspek sosiologis dari kasus tersebut sangat kuat.

Peristiwa yang dialami Baim Wong, Kakek Suhud dan Nikita Mirzani, menurutnya adalah suatu hal yang wajar. Hanya saja, perkara ini dalam ruang sosiologi berkaitan dengan interaksionisme simbolik yang dilakoni ketiganya.

Interaksionisme simbolik adalah interaksi yang dalam perjumpaan langsung, lalu secara simbolik membaca seluruh konteks yang dihadapi di depannya, yang kemudian menyebabkan interaksi timbal balik antar keduanya.

Lantas, apa pembelajaran dari kasus Baim Wong, Kakek Suhud dan Nikita Mirzani?

"Pembelajaran dari kasus (Baim Wong, Kakek Suhud dan Nikita Mirzani) ini, ada refleksi yang perlu kita renungi bersama bahwa dalam media sosial hari ini, kita yang terhubungkan dengan orang lain yang berinteraksi itu, sesungguhnya punya banyak hasrat yang tersembunyi. Yakni soal bagaimana kita sesungguhnya membutuhkan rekognisi," jelas Widyanta saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/10/2021).

Saat menggunakan atau memiliki media sosial, kata Widyanta, kita cenderung akan mempresentasikan hal-hal terbaik dari diri kita.

Widyanta mengatakan fenomena ini berkaitan dengan cara orang untuk berjuang mendapatkan pengakuan atau rekognisi tersebut melalui media sosial.

"Lalu, apa kita akan mendapat sesuatu sesuai harapan kita? Belum tentu. Sebab, orang lain juga bisa menafsirkannya berbeda, bahkan menafsirkannya secara liar," jelas dia.

Menurutnya, saat ini masyarakat tengah dihadapkan dengan imej atau citra soal kesejatian orang itu seperti apa. Namun, sejatinya semua orang merupakan pemain.

Menyimpulkan pembelajaran dari kasus Baim Wong menegur Kakek Suhud dan reaksi Nikita Mirzani pada masalah yang dihadapi Baim, peristiwa biasa ini menjadi menarik karena peran media sosial yang digunakan sebagai tujuan rekognisi.

Dalam kasus Baim Wong menegur seorang kakek, Widyanta menjelaskan pada saat itu Baim sedang berada di level back stage atau panggung belakang. Sebab, dia sedang tidak berada di dunia media sosial untuk memanggungkan dirinya.

"Akan tetapi, (Baim) sedang dalam kehidupan keseharian, sedang ada di level back stage. Tetapi di sisi lain, karena Baim Wong juga tampil sebagai front stage dengan media sosialnya, yang terbiasa menjadikan orang-orang miskin untuk diberi (uang) secara terus menerus, ia telah memposisikan dirinya sebagai dermawan. Itu panggung depannya," ungkap Widyanta.

Dalam aspek sosiologis, kata Widyanta, tindakan yang dilakukan Baim Wong merupakan bentuk komodifikasi kemiskinan, yang mana ia menampilkan dirinya sebagai orang dermawan melalui video yang direproduksi di media sosial dalam bentuk charity dengan tindakan suka memberi uang.

"Front stage (Baim Wong) menjadi Sinterklaus, malaikat, yang selalu memberi di saat ada orang mengalami kesusahan," kata Widyanta.

Secara tidak sadar, yang dilakukan Baim Wong adalah bentuk komodifikasi kemiskinan. Proses menjadikan kemiskinan sebagai komoditas untuk rating kepopuleran selebriti.

Kakek Suhud juga memiliki pencitraan tentang Baim Wong yang ditangkapnya dari gambaran video Baim Wong yang suka memberi uang. Dalam benak Kakek Suhud, kata Widyanta, terbesit atau terindikasi oleh imej Baim Wong yang dermawan.

Komodifikasi ini pun juga dimanfaatkan oleh Nikita Mirzani, dari kegaduhan yang muncul dari kasus Baim Wong dan Kakek Suhud.

"Tujuannya untuk rekognisi, yakni pengakuan, agar Nikita Mirzani juga punya popularitas yang lebih tinggi dari Baim Wong. Ini soal kontestasi di dalam dunia simbolik," ungkap Dosen Departemen Sosiologi FISIP UGM ini.

Dalam dunia virtual media sosial hari ini, kata Widyanta, yang semua terkoneksi oleh banyak orang, orang menjadi semakin bebas berkomentar tanpa perlu mengetahui konteks dan duduk perkaranya. Semua bisa saling silang pendapat dengan bebas.

Di satu sisi, ada teori dramaturgi sosial yang dimainkan Baim Wong dan Kakek Suhud. Di sisi lain, ada komodifikasi oleh selebriti lain, yakni Nikita Mirzani, untuk mendapatkan rekognisi atau pengakuan.

Artinya, Widyanto menyimpulkan bahwa fenomena dari kasus ini adalah kompetisi untuk mendapatkan popularitas lebih dari perkara tersebut, yakni masalah Baim Wong menegur Kakek Suhud.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/14/134000623/apa-pembelajaran-dari-kasus-baim-wong-kakek-suhud-dan-nikita-mirzani

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke