Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Open Science dan Runtuhnya Feodalisme

Demokratisasi dan transparansi tidak hanya diharapkan di bidang politik, tapi juga dalam bidang sains.

Dua kata tersebut menjadikan bumi semakin datar dan masyarakat semakin egaliter.

Sekarang ini, siapa pun bisa menjadi apa saja tanpa ada lagi sekat atau belenggu feodalisme yang sering kali menghambat dalam meningkatkan status sosial.

Feodalisme muncul, karena adanya hak-hak istimewa (privilege) yang diperoleh dari keturunan atau memiliki koneksi kepada sumber kekuasaan.

Dahulu sumber ilmu ada di pusat kekuasaan politik dan spiritual dan aksesnya sangat terbatas bagi orang-orang tertentu saja, bisanya para pujangga atau ulama sebagai penasihat raja.

Dua kelompok ini berperan sebagai pemberi legitimasi spiritual dan ilmiah atas kebijakan penguasa. Selain itu, kelompok ini juga dijadikan rujukan, bahkan sering kali dianggap orang suci oleh masyarakat.

Setelah zaman pencerahan (renaissance) atau revolusi positivisme, di mana institusi pendidikan mulai populer di masyarakat, maka feodalisme beralih dari yang sifatnya ilahiah menjadi bersifat ilmiah.

Gelar-gelar akademik menjadi feodalisme gaya baru bagi mereka yang memiliki kemampuan memasuki pendidikan tinggi dan kemudahan administratif untuk meraih gelar sebagai ilmuwan, misalnya gelar peneliti atau professor.

Di kemudian hari, muncul gugatan dari publik, bahwa pusat-pusat data dan informasi seperti perpustakaan dan laboratorium tidak dimonopoli oleh lembaga riset dan universitas, karena institusi-institusi tersebut didanai oleh publik, maka tidak adil apabila hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu.

Masyarakat menginginkan adanya demokratisasi dan transparansi dalam proses pendidikan dan penelitian dari hulu ke hilir, terutama bebas mengakses data primer yang diperoleh dari lapangan (open data dan open sources). Dorongan-dorongan itulah yang akhirnya memunculkan open science.

Selain karena tuntutan publik, open science juga lahir secara natural, karena perkembangan teknologi telekomunikasi, internet, dan komputer (TIK) yang membuka lebar akses pada sumber data dan informasi.

Dunia informasi mengalami perubahan besar baik dalam jumlah maupun bentuknya. Saluran media terkoneksi dengan mudah kepada berbagai pusat dan sumber data, informasi, dan pengetahuan.

Kini sains telah memasuki paradigma keempat, yaitu lebih komputasional, lebih intensif menggunakan data, dan lebih kolaboratif.

Saking kolaboratifnya sampai ada sebuah peristiwa yang menggelitik, dalam jurnal Physical Review Letters No. 114, 15 Mei 2015 dimuat artikel dengan judul “Combined Measurement of the Higgs Boson Mass in….”.

Artikel tersebut ditulis oleh dua tim yang terdiri dari 5.154 pengarang. Jumlah halaman artikel tersebut 33 halaman, di mana 24 halaman hanya memuat daftar pengarang.

Artikel ini terkenal bukan karena substansinya, akan tetapi karena jumlah pengarangnya yang fantastis.

Open science membuka lebar partisipasi publik dalam pembangunan sains, tidak dibatasi oleh institusi dan otoritas.

Semua merdeka untuk berekspresi dan berprestasi, yang membatasi hanyalah etika dan norma yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Open science juga menciptakan sikap egalitarian yang mengajarkan bahwa di hadapan sains semua manusia sama, derajat manusia ditentukan oleh kapasitas keilmuannya bukan oleh identitasnya.

Konsekuensi dari open science adalah terdegradasinya wibawa universitas dan lembaga penelitian yang sering kali terbelenggu oleh birokrasi dan administrasi.

Dengan kemajuan TIK, semua orang bisa belajar dari siapa saja, tentang apa saja, di mana saja.

Bahkan, berdasarkan prediksi keberadaan dosen dan universitas sebentar lagi akan hilang dihabisi oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Gelar-gelar akademis akan mengalami devaluasi, karena masyarakat apalagi dunia profesional sudah tidak lagi mengukur kapasitas seseorang dari panjangnya gelar akademis—yang merupakan simbol-simbol feodalisme modern.

Kita semua telah sama-sama menyaksikan bahwa sekarang ini dunia diwarnai, diarahkan, bahkan dipimpin oleh para inovator yang drop-out dari universitas.

Bill Gates (Microsoft), Seteve Jobs (Apple), Mark Zuckerberg (facebook), dan Elon Musk (Space-X, Tesla, dan Paypal) adalah deretan drop-outer universitas yang karyanya mempengaruhi manusia sejagad.

Menyadari tuntutan dari open science tersebut LIPI/BRIN melalui Pusat Data dan Dokumentasi Imiah (PDDI), mulai mengelola data terbuka ilmu pengetahun dengan nama Repositori Ilmiah Nasional (RIN), sebuah platform digital untuk konservasi data yang berisi data primer dan sekunder.

RIN merupakan wujud dari open science atau demokratisasi dan transparansi proses riset, di mana semua orang bebas untuk menyimpan data dan mengetahui proses penciptaan sains dari hulu sampai hilir.

Selain memiliki misi konservasi, RIN juga membantu efisiensi dana riset dengan menghindari redudansi dan duplikasi yang selama ini sering terjadi.

Ke depan RIN akan dijadikan memori kolektif bangsa Indonesia dalam bentuk digital.


LIPI/BRIN juga melakukan demokratisasi infrastruktur riset berupa layanan dan kerja sama terbuka dalam memanfaat infrastruktur riset seperti laboratorium (indoor dan outdoor), bengkel, ruang kerja (working space), dan lain-lain bahkan kapal riset boleh dipakai oleh siapa saja selama untuk kepentingan riset.

Layanan-layanan tersebut selain untuk demokratisasi sains di lembaga riset juga dalam rangka meningkatkan kapasitas para peneliti melalui kompetisi terbuka supaya tidak menjadi “jago kandang” yang dimanja oleh negara.

Sekarang ini, untuk menjadi saintis atau innovator, bisa digapai oleh siapa saja bukan lagi monopoli individu yang bekerja di lembaga riset.

Begitupun yang terjadi di perguruan tinggi, semakin luasnya keterbukaan akses pada sumber data, informasi, dan pengetahuan, menjadikan banyak perguruan tinggi hanya sekadar “pabrik ijazah.”

Sebagian besar mahasiswa hormat atau segan kepada dosen bukan karena kapasitas, akan tetapi karena jabatannya yang memiliki hak dan otoritas administratif penentu nilai akademik.

Hari ini untuk belajar tinggal membuka berbagai macam media komunikasi yang menyediakan materi yang diperlukan, dengan sajian bermutu dan menarik jauh berbeda dengan pembelajaran di dalam kelas—kalau tidak demikian tidak akan ada yang mau membuka channel atau mengunjungi situs/blognya.

Masa pandemik adalah sebuah pembuktian, bahwa untuk mencari ilmu pengetahuan tidak memerlukan lagi sekolah dan perguruan tinggi.

Hanya tinggal membuka gadegate maka hamparan ilmu pengetahuan terpampang di depan mata dengan memilih sendiri guru dan dosen yang kompeten dan menyenangkan.

Para mahasiswa tidak akan lagi buang-buang biaya dan waktu untuk datang ke universitas karena menurut Bill Gates, yang kuliahnya di universitas top dunia—Harvard University, “Masa satu tahun di universitas hanya digunakan untuk tidur dan bermain games, kemudian belajar selama dua minggu, setelah itu lulus dalam ujian.”

Sehingga dia drop-out, karena merasa hanya buang-buang waktu. Pendapat Gates diamini oleh Steve Jobs dengan mengatakan, “Setelah enam bulan, saya tidak dapat melihat apa gunanya. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan dalam hidup dan tidak mengerti bagaimana kuliah dapat membantu saya mengetahuinya.” (Gallo, 2009)

Belajar dari hal tersebut, jika tidak segera melakukan revolusi mental dan pergeseran paradigma, maka keruntuhan feodalisme saintis dan akademisi tinggal menghitung hari.

Hendro Subagyo dan Suherman
Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah – LIPI/BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/30/130100423/open-science-dan-runtuhnya-feodalisme

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke