Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Pasien Covid-19 Kerap Menyangkal dan Berbohong?

KOMPAS.com – Penyakit Covid-19 yang disebabkan oleh virus corona jenis SARS-CoV-2 tengah menjadi momok bagi banyak orang. Petugas medis dan pemerintah berusaha untuk melakukan contact tracing dan melangsungkan rapid test agar semua pasien Covid-19 teridentifikasi.

Namun, hal itu diperparah oleh perilaku masyarakat yang tidak kooperatif. Beberapa waktu lalu, sebanyak 46 dokter di RS dr Kariadi Semarang dinyatakan positif Covid-19 karena pasien yang tidak jujur saat dilakukan tes massal dan ditanya mengenai riwayat perjalanan.

Setali tiga uang dengan pasien, pihak keluarga pun kerap mengindahkan pentingnya identifikasi Covid-19. Di RS TNI Ciremai, Cirebon, keluarga pasien Covid-19 berbohong dan berkacak pinggang kepada petugas medis saat ditanyai riwayat perjalanan.

Tak hanya berbohong, keluarga pasien justru marah ketika ditanyai mengenai riwayat kontak.

Di tengah pentingnya identifikasi pasien dan upaya mencegah penyebaran Covid-19, mengapa banyak orang memilih untuk berbohong atau melakukan penyangkalan?

Masifnya arus informasi dan minimnya literasi

Dosen dan Psikolog Klinis dari Fakultas Psikologi UNAIR, Tri Kurniati Ambarini, M.Psi., mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah arus informasi mengenai virus corona yang sangat masif.

“Ada informasi negatif, dan ada informasi positif. Informasi negatif di sini mungkin bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, namun tidak semua orang bisa menyeimbangkan antara informasi negatif dan positif itu,” tuturnya kepada Kompas.com, Kamis (23/4/2020).

Secara psikologis, lanjut Tri, manusia lebih mudah menyerap informasi negatif dan membuat hal itu menjadi sesuatu yang kita percaya. Hal ini berkaitan erat dengan minimnya literasi mengenai kesehatan, di mana masyarakat tidak dibiasakan berhadapan dengan data yang seimbang.

“Dalam aspek kesehatan kita memang jarang mendapatkan informasi yang apa adanya. Kita terbiasa oleh doktrinasi sebab-akibat, sakit apa menyebabkan dampak apa. Pola pemikiran seperti itu sulit untuk diubah,” lanjutnya.

Kemampuan menyeimbangkan informasi positif dan negatif serta minimnya literasi kesehatan menimbulkan apa yang disebut sebagai stigma.

Stigma yang muncul dalam kasus ini adalah pasien yang positif Covid-19 akan dijauhi, diisolasi, jauh dari keluarganya. Apakah pasien akan sembuh sepenuhnya, atau akan menginfeksi orang terdekatnya.

Hal yang terjadi selanjutnya adalah perilaku berkebalikan dari help seeking (mencari pertolongan), di mana seharusnya pasien mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan.

“Stigma ini muncul ditandai dengan adanya penolakan dari masyarakat. Penyangkalan, kebohongan, bahkan seperti penolakan jenazah. Covid-19 ini muncul dalam waktu yang sangat cepat untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan,” papar Tri.

Stigma seperti ini pernah terjadi beberapa tahun lalu terhadap para penderita HIV/AIDS. Tri menjelaskan, perbedaannya terletak pada rentang waktu Covid-19 yang sangat singkat dan genting.

“Stigma terhadap pasien HIV/AIDS akhirnya pudar setelah bertahun-tahun. Tapi dalam kasus Covid-19 masyarakat tidak punya waktu untuk beradaptasi. Tiba-tiba semua aktivitas berubah, tidak bisa keluar rumah, gentingnya sangat terasa,” paparnya.

Recall bias

Dalam kesempatan lain, Henry Surendra selaku ahli epidemiologi Eijkman-Oxford Clinical Research Unit menyebutkan bahwa masyarakat bisa menjadi hambatan penanggulangan Covid-19.

Salah satu tantangan hadir dalam hal surveilans dan respon, dengan bentuk recall bias.

“Recall bias adalah saat seseorang ditanya dalam 14 hari terakhir, maka ia cenderung lupa atau sengaja tidak jujur,” tutur Henry dalam webinar bertajuk “Mengukur Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19”, Selasa (21/4/2020).

Tantangan selanjutnya adalah ketidakpatuhan dan partisipasi yang belum optimal.

“Misal saat beberapa wilayah melangsungkan PSBB, masih ada tempat ibadah yang melangsungkan ibadah massal. Atau masih banyak orang berkerumun tanpa menggunakan masker,” tambah Henry.

Komunikasi tepat sasaran

Jika penyangkalan dan kebohongan ini terus-menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin penanggulangan Covid-19 di Indonesia akan semakin terulur. Bagaimana cara menyiasatinya?

Tri menyebutkan perlunya komunikasi dan pemberian informasi yang seimbang sesuai dengan kelas ekonomi dan status sosial.

“Orang-orang yang berada pada status sosial middle up sangat mudah dididik. Namun mereka yang statusnya middle ke bawah, kita butuh memberi informasi sesuai kebutuhan mereka,” paparnya.

Salah satu jalur terbaik untuk menjangkau masyarakat seperti ini, menurut Tri, adalah dengan memanfaatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Puskesmas.

“Beda daerah, beda lagi cara penyampaiannya. Komunikasi kita harus tepat sasaran, tidak bisa ngomong dengan standar normal kita,” imbuhnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/23/170200923/mengapa-pasien-covid-19-kerap-menyangkal-dan-berbohong-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke