Sebab pemerintah telah mengatur batas waktu maksimal penghunian rumah bersubsidi sejak proses serah terima.
Artinya jika masyarakat tidak menghuni sesuai batas waktu yang ditentukan, maka fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi yang diperoleh akan dicabut.
Perihal itu tertera dalam Peraturan Menteri PUPR No. 20/PRT/M/2019 tentang Kemudahan dan Bantuan Pemilikan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Pada Pasal 74 dijelaskan bahwa, debitur atau nasabah wajib memanfaatkan rumah tapak atau satuan rumah susun (sarusun) sebagai tempat tinggal sesuai surat pernyataan pemohon KPR bersubsidi.
Apabila melanggar surat pernyataan yang dimaksud, maka Bank Pelaksana akan melakukan pemberhentian KPR bersubsidi.
Kemudian wajib mengembalikan dana kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan perumahan yang telah diperoleh melalui Bank Pelaksana.
Adapun perihal surat pernyataan yang dimaksud ialah ketika masyarakat mengajukan permohonan KPR bersubsidi.
Pada pasal tersebut terdapat beberapa surat pernyataan yang harus dibuat pemohon. Namun, hanya ada satu surat pernyataan yang berkaitan dengan kepenghunian rumah bersubsidi.
Yaitu pemohon harus menghuni rumah tapak atau sarusun sebagai tempat tinggal paling lambat 1 tahun setelah serah terima rumah yang dibuktikan dengan berita acara serah terima.
Jika menelisik lebih jauh di dalam beleid tersebut, surat pernyataan di atas juga menjadi persyaratan untuk program KPR bersubsidi lainnya.
Seperti halnya pada Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) serta Subsidi Selisih Bunga (SSB).
Dengan kata lain, pada umumnya seluruh rumah yang diperoleh melalui program KPR bersubsidi harus dihuni paling lambat 1 tahun sejak serah terima.
Kendati demikian, pemberhentian KPR bersubsidi oleh Bank Pelaksana dikecualikan apabila masyarakat mendapati kondisi tertentu. Hal tersebut tertera dalam Pasal 74 ayat (3), yaitu:
https://www.kompas.com/properti/read/2022/06/01/080000921/agar-kpr-tak-dicabut-kapan-rumah-bersubsidi-harus-dihuni