Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Momentum Berbenah World Cities Day 2021

Sekembali dari perjalanan ke ketinggian 3,726 meter di atas permukaan laut (mdpl) summit Rinjani, saya berjalan melalui jalur Torean yang baru dibuka untuk pendaki.

Saya mendaki, dalam suasana seluruh masyarakat sedang antusias menantikan perhelatan global modern, yaitu MotoGP dan World Superbike Series di Mandalika.

Maka, seluruh perjalanan saya pun dipenuhi dengan dikusi bathin mengamati perubahan yang sedang berlangsung.

Pertemuan saya dengan warga Sasak maupun komunitas Bayan, menjadi penegasan bagi saya tentang potensi konflik pada pertemuan kearifan lokal dan tekanan urbanisasi.

Tekanan perubahan perilaku dan nilai-nilai urban dan kehidupan global sangat terasa. Sebentar lagi Mandalika dan Lombok akan menjadi fitur tetap agenda masyarakat global!

Apakah Quartararo, Mir atau Marques akan berjaya di Lombok? Akankah tradisi guyuran champagne di podium tanda kemenangan, boleh dan akan diumbar penuh keceriaan di bumi Lombok?

Menarik menantikan kostum para umbrella girls di lintasan pembuka, panasnya pantai Kuta Lombok tentu menjanjikan kostum aduhai penuh logo sponsor?

Masyarakat Lombok pun akan menyapa dunia! Dengan kearifan lokalnya.

Dari kesenyapan desa Sembalun dan Torean, saya langsung mendarat di Jakarta dan harus menemui kolega di salah satu kafe dekat kantor.

Terbelalak saya dan menahan nafas. Tidak ada lagi Covid-19. Semua bergelimang canda, riuh rendah, penuh energi.

Mengerikan, kalau teringat pergumulan saya dengan Covid-19 pada awal pandemi Maret 2020.

Membuat saya merenung, seperti apa masa depan kota Indonesia menghadapi transformasi ruang maupun sosial ekonomi menjadi masyarakat perkotaan (baca: urbanisasi) yang begitu cepat?

Pandemi Covid-19 masih terus menghantui kita. Pelajaran penting bagi kota-kota kita nyata, seperti semakin jelasnya berbagai keterbatasan kota, ketimpangan, dan kerentanan terhadap risiko menjadi semakin nyata.

Tantangan tersebut sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha perbaikan sistem perkotaan yang selama ini kita anut.

Saat ini kita merasa nampaknya mulai keluar dari puncak dampak disrupsi pandemi. Tapi apakah betul bahaya sudah lewat?

Inilah kesempatan bagi para pemangku kepentingan kota-kota bersama mencari solusi dan bersinergi untuk menaruh fondasi perencanaan pembangunan perkotaan yang lebih berkelanjutan.

Setiap bulan Oktober organisasi UN Habitat bersama mitra sedunia merayakan sebulan penuh Urban October, dan seperti biasa berakhir 31 Oktober 2021 nanti sebagai World Cities Day.

Seperti diketahui, World Cities Day dimulai 2013 dalam Sidang Umum PBB tahun 2013 melalui resolusi A/RES/68/239.

Tahun ini banyak negara merayakan dengan beragam bentuk. Tahun ini pula, UN Habitat memberikan penghargaan Scroll of Honour kepada The New Urban Communities Authority/NUCA Egypt atau Otoritas Masyarakat Perkotaan Baru Mesir.

Penghargaan ini paling bergengsi yang didedikasikan untuk kota atau proyek yang bertujuan mencapai urbanisasi berkelanjutan.

Lebih dari 170 nominasi diterima dari negara-negara Asia, Eropa, America Latin. Semua dinilai oleh UN Habitat memiliki kontribusi dalam mengembangkan kotanya, dengan berbagai inovasi dalam mengatasi dampak pandemi Covid-19.

Kemudian, mengurangi emisi dan meningkatkan usaha pencapaian spatial development framework (SDF), terutama Goal 11: make cities and human settlements inclusive, safe, resilient, and sustainable.

Indonesia tak terkecuali, berbagai keriuhan dengan tema Hari Urban, dalam beragam bentuk dipersiapkan.

Kementerian-kementerian seperti PUPR, ATR/BPN dan pemkot pun bersiap dan bergerak.

Para pejabat bersiap kampanye hijau, menata taman. Ada yang siap-siap menanam pohon di hadapan media. Ada pula yang kampanye kesehatan di kampung kumuh.

Dalam keriuhan World Cities Day ini, kita pun bertanya. Sebetulnya, seperti apa kebijakan perkotaan dan urbanisasi di Indonesia?

Livabilitiy Harus Jadi Aspek Utama

Dua minggu lalu melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa, Surpres (Surat Presiden) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) diserahkan ke DPR, mudah-mudahan bukan kejutan. Sebuah tonggak sejarah RI dalam mengurbankan tanahnya.

Dari lensa kacamata para proteksionis, ini dianggap praktek alih fungsi lahan melalui koridor legal dan penyesuaian.

Namun bagi kalangan optimist dan mungkin kaum utopis, maka IKN tak pelak merupakan keputusan politik bersejarah yang menyajikan kesempatan untuk redefinisi peran pemerintah RI.

Peran mereka pada jaman modern dalam merencanakan dan membangun kota baru dan kutub pertumbuhan ekonomi baru berupa koridor urban Balikpapan-Samarinda-Penajam Paser Utara.

Dengan segala konsekuensi dan timbang saran ekonomi, geo politik, sosial, lingkungan dan ketahanan nasional, IKN akan menjadi preseden dan tak pelak mempengaruhi keberanian para perencana Indonesia untuk menyusun rencana.

Bagi rakyat, tentu ujung-ujung nya adalah kelayak hunian. Seberapa layak huni dan nyaman kah kota saya nanti.

Apa ukurannya?

Kalau kita perhatikan produk-produk aturan merencana kota kita, seperti misal nya Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang maupun Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) nya, nampak ada hal yg janggal atau kurang.

Ternyata pencapaian livability atau kelayakhunian, belum secara eksplisit menjadi ruh aturan tersebut.

Sehingga banyak perencana kota kita berkutat dalam diskursus tentang standar teknis, tanpa measurement outcome yang spesifik.

Untuk itu ke depan, kita harus melakukan penyempurnaan dan pengkayaan NSPK dengan memasukan livability sebagai sasaran outcome sebuah rencana.

Dengan demikian aturan merencana kota di jaman urbanisasi ini harus menjadi cara memastikan bagaimana negara menjamin kelayakhunian kota.

Untuk memastikan ukuran kelayakhunian, para perencana harus melakukan analisis multidimensi atas kelayakhunian.

Agar analisis lebuh tajam, harus dilakukan pemetaan standar kelayakhunian dibandingkan dengan indeks multi dimensi kemiskinan misalnya.

Untuk kelayakhunian, analisis multidimensi persepsi warga kota yang dilansir Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia melalui Most Livable City Index (2009-sekarang) layak dipertimbangkan pemerintah untuk dipakai.

Lalu, disandingkan dengan indeks multidimensional kemiskinan, seperti Multidimensional Poverty Index (MPI) yang dirilis UNDP Human Development Report.

Indeks ini melakukan pengukuran atas perubahan dalam beberapa dimensi dan 10 indikator seperti kesehatan (anak, mortalitas, gizi), pendidikan (masa sekolah), dan standard hidup (air, sanitasi, listrik dan lain-lain).

Saya tidak bosan-bosannya merekomendasikan, perlu segera ada perubahan mendasar dalam cara merencana kota Indonesia.

Mumpung ada IKN baru, mumpung ada momentum World Cities Day.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/10/26/063000821/momentum-berbenah-world-cities-day-2021

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke