Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menilik Gaya Arsitektur Kolonial di Indonesia

Mereka membangun banyak rumah, penjara, benteng-benteng, gereja dan bangunan-bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis dengan negara asalnya.

Bangunan-bangunan yang ditinggalkan memiliki langgam arsitektur kolonial dengan mengadopsi gaya neo-klasik yang bertolak dari Yunani dan Romawi.

Menurut Handinoto dalam Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada masa Kolonial, terbitan Graha Ilmu, Yogyakarta (2012), ciri yang mencolok terletak pada bentuk dasar bangunan.

Ciri khas ini terutama pada trap-trap tangga naik, bentuk pedimen (segitiga berisi relief mitos Yunani atau Romawi di atas deretan kolom), dan tympanum (konstruksi dinding berbentuk segitiga atau setengan lingkaran) yang diletakkan di atas pintu dan jendela sebagai hiasan.

Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan.

Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia dalam perkembangannya terbagi menjadi tiga periode yaitu Indische Empire style (Abad 18-19); Arsitektur Transisi (1890-1915) dan Arsitektur Kolonial modern (1915-1940).

1. Gaya Arsitektur Indische Empire Style (Abad 18-19)

Gaya arsitektur ini diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels saat bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811).

Indische Empire Style (gaya Imperial) merupakan gaya arsitektur yang berkembang pada pertengahan abad ke-18 sampai akhir abad ke-19.

Gaya arsitektur ini dimulai di daerah pinggiran kota Batavia (Jakarta). Munculnya gaya tersebut akibat percampuran kebudayaanBelanda, Indonesia dan sedikit kebudayaan China.

Ciri-ciri bangunannya adalah pertama; denah berbentuk simetris. Bentuk ini memungkinkan di tengah bangunan terdapat ruang utama yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya yang berhubungan langsung dengan teras depan dan teras belakang.

Kedua, teras yang sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani (Doric, Ionic dan Corinthian).

Ketiga, dapur, toilet dan gudang yang merupakan bagian terpisah dari bangunan utama, letaknya ada di1 bagian belakang.

Keempat, di samping bangunan utama terdapat paviliun yang digunakan sebagai kamar tidur tamu.

2. Gaya Arsitektur Kolonial Transisi (1890-1915)

Arsitektur transisi di Indonesia berlangsung sangat singkat yaitu pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 antara tahun 1890 sampai 1915.

Peralihan dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh perubahan dalam masyarakatnya dikarenakan modernisasi pada penemuan baru dalam bidang teknologi dan kebijakan pemerintah kolonial.

Ciri-ciri bangunannya, denah masih sama seperti dengan gaya arsitektur Indische Empire, gevel-gevel, aksen berkesan romantis, dan terdapat menara pada pintu masuk utama.

Kemudian, bentuk atap pelana dengan penutup genteng masih banyak dipakai dan perisai memakai konstruksi tambahan sebagai ventilasi pada atap (dormer).

3. Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915- 1940)

Arsitektur kolonial modern merupakan sebuah bentuk protes yang dilontarkan oleh arsitek Belanda setelah tahun 1900 atas gaya Empire Style.

Arsitek Belanda yang berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka mendapatkan suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya arsitektur Empire Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan sambutan di Belanda.

Gaya baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk klasik, memasukkan unsur-unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari hujan tropis yang lebat.

Selain unsur-unsur arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional asli Indonesia.

Ciri-ciri bangunannya adalah, denah lebih bervariasi sesuai kreatifitas dalam arsitektur modern, namun bentuk simetri banyak dihindari, dan teras keliling bangunan sudah tidak digunakan lagi.

Sebagai gantinya sering digunakan elemen penahan sinar, serta tampak bangunan lebih mencerminkan Form Follow Function atau Clean Design.

Kemudian, bentuk atapnya masih didominasi oleh atap pelana atau perisai, dengan bahan
penutup genting sirap.

Pada masa ini konstruksi beton sudah mulai digunakan dengan atap datar dari bahan beton yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/09/19/150000121/menilik-gaya-arsitektur-kolonial-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke