Sedangkan film Pemberontakan G 30 S PKI mengandung cukup banyak manipulasi sejarah.
Dari luar Indonesia, kita bisa ambil Disney sebagai contoh. Perempuan dalam film-film Disney digambarkan sebagai sosok yang cantik, putih, dan langsing.
Dalam sebuah riset, para gadis imigran Korea yang berusia lima hingga delapan tahun diwawancarai tentang persepsi mereka mengenai perempuan yang ada dalam film Disney.
Ternyata, mereka tertekan menghadapi konstruksi kecantikan Disney dan merasa tidak nyaman akan diri mereka sendiri.
Namun, perlawanan terhadap kemapanan konsep gender bisa kita temui juga dalam film Disney, yaitu Frozen.
Disney tetap menyuguhkan peran gender tradisional, namun di saat yang sama juga menyajikan peran gender yang menjauh dari stereotipe.
Tokoh Anna dan Elsa dalam Frozen merefleksikan post feminisme dan menggugat kemapanan stereotipe tentang gender.
Adapun resistensi dalam industri film di Indonesia terhadap kekuatan hegemonik dan represi pemerintah terjadi pada Oktober 1999.
Saat itu, peraturan perfilman membatasi kesempatan bagi pembuat film baru untuk berkarya. Peraturan-peraturan ini disusun oleh Karyawan Film dan Televisi (KFT), satu-satunya organisasi profesi perfilman pada masa itu.
Negara melarang adanya lebih dari satu organisasi profesi untuk memudahkan pengendalian. Mekanisme sensor sangatlah ketat karena pembuatan film diperlakukan pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sosial-politik Indonesia.
Saat itu, tiga belas orang pembuat film Indonesia menandatangani Manifesto Sinema. Gerakan ini didahului oleh salah satu penggagas Manifesto Sinema, Riri Riza, melalui pemutaran Kuldesak pada 1998. Proses pembuatannya ketika itu dianggap ilegal.
Kuldesak menjadi film Indonesia pertama yang kembali tayang di bioskop setelah industri film Nusantara mengalami penurunan produksi selama lebih dari satu dekade.
Jatuhnya Soeharto membuat seniman makin leluasa berkarya, tapi mereka tak langsung bisa melawan karena berkarya perlu kapital serta waktu.
Kondisi distribusi film juga tak serta-merta membaik dengan menangnya rakyat pada 1998. Namun, jalan untuk melawan hegemoni setelah itu tentu relatif lebih lebar dan lancar.
Sineas melawan kemapanan dalam berbagai aspek: Kemapanan politik, konstruksi kecantikan, kekerasan domestik, dan lain-lain.