Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tidak Mudah Kau Aku Menjadi "Kita"

Bukan saja bahwa, seperti ditulis Kompas, liriknya “manis”, “romantic”, “indah”, dan seterusnya, Tulus sebetulnya menawarkan hal yang lebih instrinsik.

Terutama, soal perjumpaan dan perpisahan manusia dengan titik tengah: kebersamaan.

Modus “bersama” merupakan titik temu dari ketegangan “temu” (sisi kanan, sisi termanis, nirwana) dan “pisah” (sisi kiri, sisi terpahit, neraka).

Dalam filsafat eksistensialisme, kemampuan menenggang manisnya pertemuan dan pahitnya perpisahan dirangkum dalam “modus dialogis”.

Dialog bukan sesuatu yang terberi begitu saja, melainkan diperjuangkan dengan letih.

Tanpa perjuangan yang letih dan penuh luka ke dalam diri, membisikkan di telinga sang kekasih yang terpisah jalan dengan “Hati-Hati di Jalan” mustahil dilakukan.

Alih-alih berucap “Hati-Hati di Jalan”, yang dilakukan adalah makian, tuntutan harta gona-gini, membikin keributan saling buka aib di media sosial 7 hari 7 malam.

Praktik membuka aib dua kekasih itu disebut “modus reaktif”, sementara saling mendoakan tatkala kebersamaan tak dicapai adalah “modus responsif”.

Bagi Tulus, dalam suasana kedirian yang paling pahit sekalipun, “manusia dialogis” dengan “modus responsive” selalu bertanya balik ke diri dan melakukan pemaafan.

Dengarkan lagu “Diri”—satu dari 10 lagu di album Manusia (2022)—dan dendangkan lirik ini: Kau berdamai dengan dirimu sendiri/ kau maafkan semua salahmu ampuni dirimu.

“Kita” atau “Kami”

Tulus dalam "Hati-Hati di Jalan" menyebut betapa tidak mudahnya kau aku menjadi "KITA". \

atkala Tulus memakai frasa “Kita” dan bukan “Kami”, saya teringat Fuad Hassan dalam disertasinya di UI pada 1967 yang kemudian terbit dengan judul Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan (1974).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1985—1993 dan sekaligus psikolog ini menjelaskan dengan gamblang apa ciri "Kita" dan "Kami".

“Kita”, tulis Fuad Hassan yang pernah bercita-cita jadi konduktor dan ikut tes masuk sekolah musik di Roma ini, merupakan suatu kebersamaan demi inklusi, sementara “Kami” adalah suatu kebersamaan demi eksklusi.

Kalau dalam “Kita” terdapat partisipasi, dalam kami sebaliknya, absorsi. Aku sebagai identitas bawaan yang merdeka berdaya dan berkembang dalam “Kita” lantaran di sana ada komunikasi, sementara aku dalam “Kami” direduksi, dinegasi, terjerat dalam anonimitas untuk kepentingan “obyektif”.

Pendeknya, “Kita” itu hangat, merangkul; “Kami” membatasi, mengingkari. Dalam “Kita”, individu, si aku tidak teralienasi. Sebaliknya, justru berkembang.

Lalu, sampailah si kau dan si aku bertemu dan mengikrarkan mencari (makna hidup) bersama dalam hubungan yang dinarasikan Tulus: Kita mau ke mana, hendak mencari apa, menumpuk untuk apa.

Sampai di situ, hidup menguji karakter manusia. “Kita” dan “Kami” terbentuk dari ujian kehidupan, bukan atribut psikologi yang terberi. Ia lahir dari “Ingkar” dan “Interaksi”.

“Kita” itulah yang disebut Martin Heidegger sebagai alles dasein ist mitsein. Bahwa, manusia mengada karena ada sesamanya.

Being person berarti being-with-other-person. Meng-ada di suatu dunia bersama manusia lain.

Hakikat manusia itu ada-nya dalam suatu kebersamaan (being-in-communion). Mitsein, bersama.

Tapi, “hidup bersama sampai menua” itu bukan sesuatu yang mudah, Sob! Dalam narasi Tulus sembari menukil pepatah tua bahwa asam dan garam bertemu di belanga itu sebagai kisah tak seindah itu.

Bersama adalah tujuan ideal. Tapi, bagaimana jika tujuan ideal itu tidak tercapai? Bagaimana kalau terbentur, terbentur, terbentur, dan kebersamaan tak bisa diraih?

Di sinilah bekerja dua modus eksistensi yang terbentuk dalam pengasuhan masa kecil maupun karakter yang dibentuk oleh pembelajaran dan lingkungan sosial.

Dua modus itu disebut psikoanalis asal Jerman, Erich Fromm, dengan modus memiliki (to have) dan modus menjadi (to be).

Ciri to have adalah memandang manusia melulu obyek dan harta benda yang dimiliki dan dikuantifikasi, sementara to be lebih kepada sesuatu yang nonbendawi, sifat, kualitatif.

Seseorang tetap menjadi dirinya, menjadi manusia merdeka, pribadi unik dalam suatu kendaraan dengan tujuan bersama yang ditentukan adalah ciri manusia dengan modus eksistensi to be.

Tatkala semua yang indah dalam hubungan itu tidak tercapai, si manusia “Kita” dengan modus eksistensi “to be” punya jaring pribadi: berusaha berdamai dengan diri sembari melakukan penghormatan kepada diri yang lain.

Martin Burber menggambarkannya dengan indah: “Through the Thou a man becomes I, the I is real in virtue of its sharing in reality".

Burber ingin bilang untuk menemui dirimu, terlebih dahulu kau menemui orang lain. Dalam bahasa Tulus, jika si dia tak lagi bisa ditemui, ingat-ingatlah kebaikannya, rindukanlah kasih sayang yang pernah diberikan, dan jangan lupa, doakan selalu: “Hati-Hati di Jalan”.

Demikianlah, tatkala beranda media sosial kita dihantam oleh peristiwa perceraian para pesohor yang diikuti saling membuka aib di berbagai podcast, dengarkanlah kembali Tulus.

Kesanggupan memaafkan dan berdamai dengan diri adalah puncak “manusia dialogis”, manusia yang menumbuhkan dalam dirinya modus eksistensi “to be”. Dalam bahasa agama adalah ikhlas, tulus.

https://www.kompas.com/hype/read/2022/03/30/161055366/tidak-mudah-kau-aku-menjadi-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke