Kepala Departemen Gawat Darurat RS Al Aqsa dan dosen di Fakultas Kedokteran di Universitas Islam Gaza (IUG), Fahid Al-Hadad, berharap dapat mulai mengajar lagi, meskipun ia telah kehilangan buku-buku dan kertas-kertas yang terkumpul selama lebih dari satu dekade saat rumahnya di Kota Gaza dihancurkan.
Baca juga: PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan
Ia menuturkan, pengajaran secara online akan menjadi rumit karena internet yang lemah, namun setidaknya dapat memungkinkan para mahasiswa untuk menyelesaikan gelar mereka.
Gedung-gedung IUG dan Al Azhar berdiri dalam keadaan rusak parah dan ditinggalkan di lokasi-lokasi yang berdekatan di Kota Gaza.
"Kami siap untuk memberi dengan cara apa pun, tetapi jauh lebih baik di dalam Gaza daripada di luar. Karena jangan lupa bahwa kami adalah dokter dan kami sedang bekerja," kata Hadad.
Puluhan ribu warga Gaza yang menyeberang ke Mesir juga menghadapi tantangan.
Meskipun hidup dalam kondisi yang relatif aman, mereka tidak memiliki dokumen untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah.
Dengan demikian, beberapa dari mereka hanya bisa mendaftar untuk belajar jarak jauh yang ditawarkan dari Tepi Barat, di mana warga Palestina memiliki kekuasaan yang terbatas di bawah pendudukan militer Israel.
Kedutaan Besar Palestina di Kairo berencana untuk mengawasi ujian akhir tahun bagi 800 siswa sekolah menengah.
Kamal al-Batrawi, seorang pengusaha berusia 46 tahun, mengatakan kedua putrinya yang masih sekolah mulai bersekolah secara daring setelah keluarganya tiba di ibu kota Mesir lima bulan yang lalu.
"Mereka mengikuti kelas setiap hari, dari jam 08.000 pagi sampai jam 13.30 siang, seolah-olah mereka berada di sekolah biasa. Ini adalah tindakan yang menyelamatkan," katanya.
Baca juga: Tentara Israel Diserang Ratusan Lebah di Gaza Selatan
Di Gaza selatan, di mana lebih dari satu juta orang mengungsi, badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, telah menyelenggarakan kegiatan rekreasi seperti bernyanyi dan menari dengan beberapa pembelajaran dasar.
Badan ini berencana untuk membangun 50 tenda di mana 6.000 anak dapat mengikuti kelas dalam tiga shift harian.
"Sangat penting untuk melakukannya, namun hal ini masih merupakan setetes air di lautan," ujar Jonathan Crickx, kepala komunikasi UNICEF Palestina.
Wesam Amer, Dekan Fakultas Komunikasi dan Bahasa di Universitas Gaza, mengatakan meskipun pengajaran daring dapat menjadi solusi sementara, namun hal itu tidak dapat memberikan pembelajaran fisik atau praktik yang diperlukan untuk mata pelajaran seperti kedokteran dan teknik.
Setelah meninggalkan Gaza menuju Jerman pada bulan November, ia memberikan saran kepada para mahasiswa tentang bagaimana menyesuaikan program studi mereka dengan pilihan di universitas di Tepi Barat atau Eropa.