Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Saat Anak-anak Gaza Tetap Bersemangat Belajar di Tengah Perang yang Menghancurkan...

GAZA, KOMPAS.com - Dua anak kakak adik bersila di atas pasir mengikuti pelajaran di sebuah tenda di dekat Khan Younis, Gaza, belum lama ini.

Mereka terhubung secara daring ke sekolah di Tepi Barat dari Kairo.

Seorang profesor di Jerman telah membantu para pelajar Palestina untuk terhubung dengan universitas-universitas di Eropa.

Setelah menyaksikan sekolah dan universitas mereka ditutup, rusak, atau hancur akibat serangan Israel, anak-anak di Gaza yang mengungsi di dalam dan di luar wilayah itu melakukan apa yang mereka bisa untuk memulai kembali proses belajar.

"Kami menerima murid-murid baru dan masih banyak yang mengantre," kata Asmaa al-Astal, seorang guru sukarelawan di sekolah tenda di dekat pantai di al-Mawasi, yang dibuka pada akhir April lalu.

Daripada membiarkan anak-anak kehilangan satu tahun penuh sekolah karena berlindung dari pengeboman Israel, para sukarelawan berkomitmen akan membersamai mereka.

"Kami akan membawa anak-anak ke sini, dan kami akan mengajar mereka," katanya, sebagaimana diberitakan Reuters.

Warga Gaza bersedih konflik antara Israel dan Hamas telah menyebabkan kerusakan pada sistem pendidikan mereka.

Gaza dan Tepi Barat yang diduduki Israel sebenarnya memiliki tingkat melek huruf yang tinggi secara internasional. Tetapi, blokade Israel terhadap daerah kantong Palestina di pesisir dan konflik yang terus berlanjut menyebabkan penyediaan layanan pendidikan menjadi rapuh dan kekurangan sumber daya.

Sejak perang Hamas-Israel dimulai pada 7 Oktober, sekolah-sekolah telah dibom atau dijadikan tempat penampungan bagi para pengungsi, sehingga sekitar 625.000 anak usia sekolah di Gaza tidak dapat menghadiri kelas.

Menurut data resmi Palestina, seluruh dari 12 institusi pendidikan tinggi di Gaza telah hancur atau rusak, menyebabkan hampir 90.000 mahasiswa terlantar, dan lebih dari 350 guru dan akademisi terbunuh.

"Kami kehilangan teman, kami kehilangan doktor, kami kehilangan asisten dosen, kami kehilangan profesor, kami kehilangan banyak hal dalam perang ini," kata Israa Azoum, seorang mahasiswa kedokteran tahun keempat di Universitas Al Azhar di Kota Gaza.

Azoum kini menjadi sukarelawan di rumah sakit Al Aqsa di kota Deir al-Balah untuk membantu para staf yang kewalahan menangani gelombang pasien. 

Ia mengaku keterlibatannya juga karena tidak ingin kehilangan hubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari.

"Saya tidak pernah merasa lelah karena inilah yang saya sukai. Saya suka kedokteran, saya suka bekerja sebagai dokter, dan saya tidak ingin melupakan apa yang telah saya pelajari," katanya.

Kepala Departemen Gawat Darurat RS Al Aqsa dan dosen di Fakultas Kedokteran di Universitas Islam Gaza (IUG), Fahid Al-Hadad, berharap dapat mulai mengajar lagi, meskipun ia telah kehilangan buku-buku dan kertas-kertas yang terkumpul selama lebih dari satu dekade saat rumahnya di Kota Gaza dihancurkan.

Ia menuturkan, pengajaran secara online akan menjadi rumit karena internet yang lemah, namun setidaknya dapat memungkinkan para mahasiswa untuk menyelesaikan gelar mereka.

Gedung-gedung IUG dan Al Azhar berdiri dalam keadaan rusak parah dan ditinggalkan di lokasi-lokasi yang berdekatan di Kota Gaza.

"Kami siap untuk memberi dengan cara apa pun, tetapi jauh lebih baik di dalam Gaza daripada di luar. Karena jangan lupa bahwa kami adalah dokter dan kami sedang bekerja," kata Hadad.

Nasib warga yang menyeberang ke Mesir

Puluhan ribu warga Gaza yang menyeberang ke Mesir juga menghadapi tantangan.

Meskipun hidup dalam kondisi yang relatif aman, mereka tidak memiliki dokumen untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah.

Dengan demikian, beberapa dari mereka hanya bisa mendaftar untuk belajar jarak jauh yang ditawarkan dari Tepi Barat, di mana warga Palestina memiliki kekuasaan yang terbatas di bawah pendudukan militer Israel.

Kedutaan Besar Palestina di Kairo berencana untuk mengawasi ujian akhir tahun bagi 800 siswa sekolah menengah.

Kamal al-Batrawi, seorang pengusaha berusia 46 tahun, mengatakan kedua putrinya yang masih sekolah mulai bersekolah secara daring setelah keluarganya tiba di ibu kota Mesir lima bulan yang lalu.

"Mereka mengikuti kelas setiap hari, dari jam 08.000 pagi sampai jam 13.30 siang, seolah-olah mereka berada di sekolah biasa. Ini adalah tindakan yang menyelamatkan," katanya.

Di Gaza selatan, di mana lebih dari satu juta orang mengungsi, badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, telah menyelenggarakan kegiatan rekreasi seperti bernyanyi dan menari dengan beberapa pembelajaran dasar.

Badan ini berencana untuk membangun 50 tenda di mana 6.000 anak dapat mengikuti kelas dalam tiga shift harian.

"Sangat penting untuk melakukannya, namun hal ini masih merupakan setetes air di lautan," ujar Jonathan Crickx, kepala komunikasi UNICEF Palestina.

Wesam Amer, Dekan Fakultas Komunikasi dan Bahasa di Universitas Gaza, mengatakan meskipun pengajaran daring dapat menjadi solusi sementara, namun hal itu tidak dapat memberikan pembelajaran fisik atau praktik yang diperlukan untuk mata pelajaran seperti kedokteran dan teknik.

Setelah meninggalkan Gaza menuju Jerman pada bulan November, ia memberikan saran kepada para mahasiswa tentang bagaimana menyesuaikan program studi mereka dengan pilihan di universitas di Tepi Barat atau Eropa.

"Tantangan yang dihadapi setelah perang bukan hanya soal infrastruktur dan gedung-gedung universitas. Ini adalah tentang puluhan akademisi yang telah terbunuh dalam perang dan tugas berat yang harus dilakukan untuk menggantikan mereka," katanya.

Mereka yang terbunuh termasuk presiden IUG Sufyan Tayeh, yang tewas bersama istri dan kelima anaknya dalam sebuah serangan di rumah saudara perempuannya pada bulan Desember.

Tayeh, seorang profesor fisika teoretis dan matematika terapan yang telah memenangkan penghargaan, memiliki "hasrat yang besar" terhadap ilmu pengetahuan.

"Bahkan di tengah-tengah perang, dia (Tayeh) masih mengerjakan penelitiannya sendiri," kata saudaranya, Nabil, kepada Reuters.

PBB memperkirakan bahwa 72,5 persensekolah di Gaza akan membutuhkan rekonstruksi penuh atau rehabilitasi besar-besaran.

Jonathan Crickx, kepala komunikasi UNICEF Palestina, menyebut dukungan kesehatan mental dan psikososial juga akan dibutuhkan agar anak-anak merasa aman untuk kembali ke sekolah yang mungkin telah dibom.

https://www.kompas.com/global/read/2024/05/13/170800370/saat-anak-anak-gaza-tetap-bersemangat-belajar-di-tengah-perang-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke