Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Klinis Tertua dari Kondisi Genetik yang Membuat Testis Berukuran Lebih Kecil Ditemukan

Kompas.com - 27/08/2022, 21:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Daily Mail

ALBUFEIRA, KOMPAS.com - Kasus klinis tertua dari kondisi genetik yang membuat testis berukuran lebih kecil ditemukan di kerangka seorang pria yang meninggal 1.000 tahun yang lalu di Portugal.

Dikenal sebagai sindrom Klinefelter, kondisi genetik ini membuat laki-laki memiliki kromosom X ekstra yang sangat memengaruhi keterampilan motorik seperti berdiri dan duduk, serta perkembangan intelektual.

Tetapi, penyakit genetik ini sangat langka hanya ditemukan pada sekitar satu dari 1.000 kelahiran genetik laki-laki.

Baca juga: Brasil Konfirmasi Temuan Jasad di Amazon adalah Jurnalis Inggris yang Hilang sejak 5 Juni

Para arkeolog tidak mengetahui penyakit apa yang dialami jenazah tersebut.

Hanya saja mereka menemukan bahwa tengkorak tersebut memiliki tanda-tanda seperti gigi yang lebih besar dari rata-rata dan infeksi gusi serius, yang merusak jaringan lunak di mulutnya sebelum kematian. Keduanya disebabkan oleh kondisi genetik.

Sindrom Klinefelter pertama kali dijelaskan pada 1942.

Tetapi menurut para peneliti, kasus tertua ini bisa memberikan pemahaman yang lebih baik bagaimana penyakit ini dapat berkembang sepanjang waktu dan prevalensinya sepanjang sejarah.

Daily Mail melaporkan pada Jumat (26/8/2022) bahwa arkeolog dari Australian National University (ANU) menemukan kerangka tersebut saat menggali pekuburan Torre Velha, di mana mereka menemukan 59 kuburan hingga saat ini.

Kerangka dengan penyakit itu dikuburkan di makam individu berbentuk oval, tanpa penutup atau barang kuburan yang terkait.

Baca juga: Jasad Kedua Ditemukan di Danau Mead Setelah Kerangka Manusia dalam Tong Terlihat

Jenazahnya ditempatkan dalam posisi terlentang dengan tangan disilangkan di dada, dengan orientasi khas Barat-Timur dari penguburan Kristen.

Tim memulai dengan menganalisis informasi genetik yang diperoleh dari kerangka yang ditemukan di timur laut Portugal, yang telah diberi radiokarbon pada abad ke-11 oleh para peneliti dari Universitas Coimbra di Portugal.

“Kami langsung bersemangat saat pertama kali melihat hasilnya,” kata Dr Joao Teixeira dalam sebuah pernyataan sebagaimana dilansir Daily Mail.

Akan tetapi, kata dia, DNA purba sering terdegradasi dan berkualitas rendah, sehingga timnya sangat berhati-hati sejak awal.

Kepala Antropologi Molekuler di Australian Centre for Ancient DNA Associate Professor Bastien Llamas, mengatakan dalam beberapa tahun terakhir DNA purba membantu menulis ulang sejarah populasi manusia di seluruh dunia.

“Studi kami menunjukkan bahwa sekarang ini merupakan sumber yang berharga untuk penelitian biomedis dan bidang kedokteran evolusioner yang sedang berkembang.”

Baca juga: Pemburu Fosil Temukan Kapak Purba hingga Kerangka Mamut di Inggris

DNA kerangka tersebut diekstraksi oleh Xavier Roca-Rada, mahasiswa PhD di Universitas Adelaide. Dia mengatakan “analisis genetik dilakukan untuk memetakan secara komputasi fragmen DNA yang terdegradasi dari kromosom X dan Y ke genom manusia referensi.”

Mengingat keadaan spesimen yang terpelihara dengan baik, para peneliti juga dapat menentukan ciri-ciri fisik dalam kerangka yang sesuai dengan sindrom Klinefelter.

“Mengingat keadaan DNA yang rapuh, kami mengembangkan metode statistik baru yang dapat memperhitungkan karakteristik DNA purba, dan pengamatan kami untuk mengonfirmasi diagnosis,” kata Dr Teixeira.

Menurutnya meski penelitian ini menawarkan bukti kuat untuk sejarah genetik sindrom Klinefelter, tidak ada implikasi sosiologis yang dapat ditarik dari diagnostik ini.

Para peneliti menyarankan metode baru mereka untuk menganalisis kerangka khusus ini dapat lebih ditingkatkan untuk mempelajari kelainan kromosom yang berbeda pada spesimen arkeologi lainnya, termasuk sindrom Down.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com