Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita di Balik Skandal Perdagangan Anak Berkedok Adopsi dari Indonesia ke Belanda

Kompas.com - 13/06/2022, 16:46 WIB
BBC INDONESIA,
Bernadette Aderi Puspaningrum

Tim Redaksi

Herlina setidaknya sudah enam kali kembali ke Indonesia, tapi pencariannya terus menemui jalan buntu. Tak terhitung berapa jumlah uang yang ia gelontorkan demi pencarian itu.

Ketika ditanya soal perasaannya saat menyadari asal-usulnya tercerabut darinya dan ketidakpastian tentang nama dan tanggal lahirnya, serta identitas orang tuanya, Herlina mengaku: "Itu membuat saya sangat sedih.”

“Itu sangat menyakitkan karena saya tidak tahu sama sekali tentang masa lalu saya. Itu membuat saya merasa saya bukan siapa-siapa dan itu sangat sulit untuk dimengerti," tutur perempuan yang diadopsi dari Indonesia pada 1980 itu.

Adapun Widya mengaku harus merogoh hampir 5.000 euro (hampir Rp 80 juta) dari tabungannya, untuk keseluruhan penelusuran asal-usulnya selama enam pekan di Indonesia, termasuk melakukan sejumlah tes DNA.

Biaya perjalanannya membengkak sebab selama berpindah dari satu kota ke kota yang lain, ia harus melakukan tes covid. Belum lagi, biaya karantina yang tak sedikit.

Ia juga harus mengorbankan waktu dan energinya, demi menemukan ibu kandungnya.
Maka dari itu, Widya dan mereka yang senasib dengannya, mendesak pemerintah Belanda untuk memberikan kompensasi atas pencarian ibu kandungnya.

Baca juga: Berbagai Komunitas di Sekitar Sungai Aare Ikut Bantu Cari Eril Anak Ridwan Kamil

"Saya tidak bilang pemerintah harus mengganti seluruh biaya pencarian. Tapi saya pikir bahkan hanya membiayai dua tes DNA, kami sudah bahagia, karena itu menghemat banyak uang," ujar Widya dengan nada tegas.

"Kami merasa berhak untuk mengetahui siapa diri kami. Kami merasa berhak mengetahui siapa diri kami. Karena, Anda tahu, bukan salah kami jika kami menjadi korban," tuturnya.

Kompensasi finansial itulah yang kini sedang diupayakan oleh Dewi Deijle, pengacara di Belanda yang juga diadopsi dari Indonesia.

Jurnalis BBC Indonesia Ayomi Amindoni berjumpa dengannya di Den Haag, ketika ia berjumpa dengan Widya dan Andre Kuik, yang kisah pertemuannya dengan ibu kandungnya pada 2018 lalu.

Berbeda dengan kawan-kawan yang senasib dengannya, bagi Dewi alih-alih koneksi dengan asal-usulnya, yang terpenting baginya adalah kebenaran.

Tapi tetap saja, wanita yang memiliki karakter ceria tapi juga tegas ini merindukan Indonesia meski tidak secara khusus kepada orang tua kandungnya.

"Terkadang saya takut jika saya menemukan mereka, atau setidaknya ibu kandung saya. Karena tentang ayah saya, saya tidak ada apa-apa. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan setelah itu. Apakah saya harus tetap berhubungan dengannya?"

"Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Satu-satunya hal adalah saya ingin tahu yang sebenarnya," tutur Dewi dengan kegelisahan terpancar di raut wajahnya, mencoba mengartikulasikan dilema yang ia rasakan.

Baca juga: Cerita WNI di AS Pasca-penembakan Massal di SD Texas: Takut Melepas Anak ke Sekolah

Apa yang dituturkan Dewi, Herlina, Yanien dan Widya, mengungkap betapa dampak dari adopsi ilegal ini tak hanya menguras energi dan keuangan mereka, tapi lebih parah lagi, membuat mereka kehilangan jati diri.

Sri Utari - salah satu orang yang terlibat dalam proses adopsi ilegal sejumlah anak dari Indonesia ke Belanda - tak menyadari hal ini.

Bagi dia, yang ia lakukan adalah untuk menaikkan taraf hidup anak-anak yang dia sebut diambil dari "lumpur", dan kini menjadi "orang".

Adopsi antar negara di masa lalu bertujuan untuk membantu anak-anak di negara dunia ketiga, seperti Indonesia, tapi kemudian disalahgunakan oleh oknum-oknum yang mengambil untung.

Sementara tanggungjawab soal informasi palsu yang tertera dalam surat kelahiran, dilemparkan pada "agen" dan "makelar" yang terlibat.

Baik Utari, atau siapapun yang terlibat dalam jaringan yang terorganisir itu, mungkin tak membayangkan bahwa perdagangan anak berkedok adopsi di masa lalu, membuat ribuan anak merasa tercerabut dari akar mereka, hingga kini di usia dewasa mereka.

Widya, Yanien, Dewi dan Herlina, mengaku mereka seperti tinggal di dua dunia, di mana mereka tak menjadi bagiannya.

Baca juga: [KABAR DUNIA SEPEKAN] Penembakan SD di Texas | Anak Ridwan Kamil Hilang di Sungai Aare Swiss

Mereka warga Belanda, tapi tak merasa sama seperti orang Belanda kebanyakan.

Mereka pun tak merasa sebagai orang Indonesia sepenuhnya, sebab meski memiliki darah Indonesia, mereka merasa seperti turis jika berada di Indonesia.

Krisis identitas, depresi, dan trauma, menjadi bagian dari hidup mereka.

Dan, bagi mereka yang mencari orang tua kandungnya, waktu mereka semakin sempit sebab orang tua kandung mereka telah memasuki usia senja saat ini.

Dengan begitu sedikit informasi, mereka bergantung pada ingatan masa kecil dan ingatan satu sama lain. Lalu bagaimana mereka bisa tahu apa yang bisa dipercaya? Rasanya itu seperti lingkaran setan.

Membayangkan posisi mereka, Wartawan BBC Indonesia Ayomi Amindoni yang meliput kasus ini merasakan ironi bagaimana kebahagiaan dan ketentraman tak bisa dipenuhi dengan materi, tapi yang lebih mendasar adalah identitas dan jati diri.

Artikel ini telah tayang di BBC Indonesia dengan judul "Cerita di balik skandal adopsi ilegal: 'Lingkaran setan' dalam perdagangan anak berkedok adopsi".

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com