Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Mengakhiri Perang Rusia Vs Ukraina

Kompas.com - 12/04/2022, 10:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RUSIA ternyata tidak berhasil membuat Ukraina menyerah setelah enam minggu menginvasi Ukraina.

Kecenderungannya, tentara Ukraina yang didukung sukarelawan sipil semakin kuat menahan serbuan tentara Rusia.

Ini menyebabkan Rusia mengubah sasaran pertempuran dari Kiev, Ibu Kota Ukraina, ke Dombas, daerah Ukraina bagian timur yang ingin mendirikan negara sendiri. Penduduk daerah ini berbahasa Rusia.

Jika Dombas berhasil dikuasai, barulah Rusia fokus kembali menyerbu Kiev. Dengan demikian, maka Presiden Ukraina tidak lagi bisa menyemangati tentara dan sukarelawan Ukraina secara langsung di lapangan.

Inilah skenario umum yang bisa ditarik dari strategi Rusia untuk menguasai Ukraina, setelah operasi khususnya tidak berjalan sesuai skenario awal.

Tujuan Rusia menginvasi Ukraina adalah pemerintah Ukraina yang memahami kepentingan Rusia, yaitu ancaman perluasan NATO.

Seperti diketahui, beberapa negara ex Uni Soviet satu demi satu sudah bergabung dengan Uni Eropa/NATO, sebagai upaya untuk mempercepat kemajuan ekonomi dalam pemerintahan yang demokratis.

Jika Ukraina menjadi bagian dari NATO, sebagaimana dijanjikan Presiden Ukraina, Volodymyr (Vladimir dalam bahasa Rusia) Zelensky, saat Pilpres 2019, maka pasukan NATO akan berada persis di samping Rusia.

Rusia yang sendirian berisiko diserbu dengan mudah oleh NATO yang terdiri dari banyak negara.

Padahal Presiden Rusia, Vladimir Putin, agaknya berusaha membangun Rusia Raya, seperti Uni Soviet dahulu.

Perubahan strategi militer Rusia tersebut membuat Ukraina bisa sedikit bernafas lega, terlihat dari mulai adanya kehidupan di Kiev sejak beberapa hari terakhir ini. Toko-toko mulai buka, jalan-jalan mulai dilewati kendaraan pribadi.

Bagaimanapun, akibat perang tampak jelas. Gedung-gedung pemerintah dan militer hancur, banyak apartemen penduduk rusak terkena rudal tentara Rusia.

Lebih parah lagi, ratusan penduduk sipil tewas karena invasi Rusia, dan hampir empat juta orang dari 45 jutaan penduduk Ukraina menjadi pengungsi di negara-negara lain.

Memori penderitaan mereka yang keluarganya terbunuh dan yang mengungsi akibat invasi ini tentu akan membekas lama, dengan segala implikasinya.

Perkembangan lain adalah bahwa sanksi ekonomi yang dikenakan negara-negara Barat terhadap Rusia agar segera mengakhiri perang telah berbalik merepotkan mereka sendiri.

Pasalnya, harga-harga energi dan beberapa komoditas pangan dunia serentak naik cukup tinggi.

Rusia juga membalas Barat dengan mensyaratkan pembayaran impor minyak dan gasnya dengan menggunakan mata uangnya, Rubel.

Padahal negara-negara Barat sangat tergantung dari Rusia dalam pembelian migas, dengan sekitar 40 persen impor migasnya berasal dari Rusia.

Tanpa migas, maka industri akan berhenti berproduksi, dan pertumbuhan ekonomi akan menurun dengan cepat.

Balasan Rusia ini menyebabkan negara-negara Eropa menjadi terbelah, sebagian menuruti kemauan Rusia, dan sebagian lagi menolak.

Negara-negara yang menolak kemauan Rusia merasa yakin bisa memenuhi kebutuhan migas dari negerinya sendiri atau mengimpor dari negara lain.

Sedangkan negara-negara yang terpaksa menuruti persyaratan Rusia adalah karena tidak memiliki alternatif lain selain membeli migas dari Rusia.

Salah satunya adalah Jerman, yang ketergantungan pada gas Rusia sangat tinggi. Jerman memang mampu memproduksi energi terbarukan, namun menggantikan pasokan gas dari Rusia perlu waktu yang tidak sebentar, bisa 4 bahkan 10 tahunan, karena besarnya kebutuhan.

Maka jalan satu-satunya adalah tunduk pada kemauan Rusia, sesuatu yang tentu tidak diduga sama sekali.

Maka menjadi harapan dari berbagai pihak untuk segera menyudahi perang. Ada beberapa orang di muka bumi ini yang sebetulnya berpotensi mengakhiri perang.

Yang pertama adalah Presiden Putin sendiri. Namun ia tentu tidak mau kehilangan muka dengan hasil yang diperoleh saat ini.

Sebelum Presiden Zelensky diganti oleh orang yang dapat diaturnya, penyerbuan Ukraina akan terus dilakukan.

Yang kedua adalah Presiden AS, Joe Biden. Ia bisa meyakinkan bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO, sesuai pernyataan Presiden Zelensky sendiri.

Jaminan Biden tentu harus dibuat permanen dengan kesepakatan yang juga ditandatangani beberapa negara Eropa. Namun Biden, agaknya belum mau terlibat terlalu dalam dengan urusan ini.

Tentu kita enggan menduga bahwa hal ini karena AS diuntungkan dengan penjualan senjata yang semakin laris karena dibeli negara-negara lain untuk berjaga-jaga.

Seperti diketahui, rudal panggul buatan pabrik senjata AS, yang murah, dapat membuat ‘keder’ pesawat tempur, yang mahal, untuk terbang rendah membidik target karena mudah ditembak jatuh.

Orang ketiga adalah Presiden China, Xi Jinping. Sebagai sahabat terdekat Putin, ia bisa membujuknya untuk menghentikan invasi di Ukraina.

Ia juga bisa meminta NATO untuk menahan keinginan negara-negara ex Uni Soviet untuk bergabung, termasuk Ukraina.

Namun, Xi Jinping tampak tidak berminat turun tangan untuk menghentikan serbuan Rusia atas Ukraina.

Bisa jadi diam-diam ia telah membujuk Putin untuk itu, namun kita tidak mendengar hasil konkretnya.

Padahal jika ia berhasil, maka ia akan dikenang sebagai pemimpin dunia yang cinta damai. Ia bahkan bisa mendapat hadiah Nobel Perdamaian, dan karenanya, nama baik yang dikenang dunia.

Beberapa pemimpin negara-negara lain telah berusaha mengajak Rusia dan Ukraina untuk duduk satu meja, seperti Turki, Israel, dan Perancis.

Kedekatan dengan kedua belah pihak dan posisi netralitas menjadi modal bagi negara-negara itu untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina. Namun sejauh ini hasilnya belum terlihat.

Adalah Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani yang mungkin dapat diharapkan untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina.

Emir Qatar ini termasuk orang pertama yang dihubungi Zelensky untuk mendesak Putin menghentikan invasinya. Emir Qatar juga mempunyai hubungan baik dengan Putin.

Sebelum ini Sheikh Tamim sudah berhasil menghentikan pertikaian antarnegara atau antarkelompok di Afrika, Timur Tengah dan Asia Tengah, serta menengahi sengketa antara AS dan Iran perkara laboratorium nuklir.

Modal utama Qatar (Musthafa Abd Rahman, Kompas 8/4/2022) adalah, pertama, pendekatan secara rahasia kepada pihak-pihak yang berseteru.

Kedua, memberikan bantuan ekonomi bagi pihak yang lemah. Ketiga menggunakan potensi yang dimiliki untuk memperlancar perundingan, seperti stasiun televisi Al Jazira dan maskapai penerbangan Qatar Airways.

Keempat, menerapkan hukum internasional agar hasil kesepakatan diakui dan dikokohkan lembaga internasional seperti PBB.

Sheikh Tamim telah mengutus Menteri Luar Negerinya pergi ke Moskwa pada pertengahan Maret lalu untuk menjajaki perundingan. Sebelumnya, utusan Presiden Ukraina sudah bertandang ke Doha.

Kita tidak tahu sampai di mana pendekatan ini dilakukan. Mungkin sudah mendekati kesepakatan akhir, mungkin juga tidak berhasil seperti perundingan secara bilateral dan trilateral yang dilakukan sebelumnya.

Apapun yang terjadi, kita berharap agar perang antara Rusia dan Ukraina segera berakhir.

Tidak tega hati kita menyaksikan para pengungsi mengalami penderitaan di perjalanan hingga sampai di negara tujuan.

Kita menyayangkan kota-kota yang megah dengan bangunan-bangunan indah hancur terkena rudal.

Kita sedih bahwa peperangan yang menghilangkan nyawa ribuan orang masih terjadi pada era sekarang ini, saat orang-orang dan bangsa-bangsa semakin terkoneksi satu sama lain, dengan kemajuan teknologi yang memperpendek jarak dan mengatasi kendala komunikasi.

Semoga ada pemimpin dunia yang muncul dan turun tangan untuk segera mengakhiri perang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com