Tanggapan negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN terhadap invasi Rusia ke Ukraina sangat bervariasi.
Demikian pula sikapnya terhadap resolusi MU PBB, berbeda-beda. Sebab, masing-masing negara adalah negara merdeka dan berdaulat yang memiliki kepentingan sendiri-sendiri—khususnya terkait resolusi “Agresi terhadap Ukraina”—walau dalam “satu rumah” ASEAN.
Ini sama halnya dengan sikap negara-negara yang tergabung dalam SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation/Asosiasi Asia Selatan untuk Kerja Sama Regional).
SAARC yang didirikan pada 8 Desember 1985 beranggotakan, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal, Maladewa, Bhutan, dan Afganistan.
Asosiasi ini “terpecah” menjadi dua: empat mendukung—Afganistan, Bhutan, Maladewa, dan Nepal—dan empat abstain, yakni Bangladesh, India, Pakistan, dan Sri Lanka.
Yang menarik adalah sikap Myanmar di bawah kekuasaan junta militer sama dengan Afganistan yang dipimpin Taliban. Kedua negara ini menentang agresi militer Rusia Ukraina.
Baca artikel sebelumnya: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian I)
Bahkan, menurut daftar persiapan (preliminary list) kedua negara tercatat sebagai co-sponsors resolusi (Reuters).
Mengapa demikian? Karena, dubes kedua negara di PBB diangkat oleh pemerintah sebelumnya yang dipilih secara demokratik.
Myanmar diwakili Kyaw Moe Tun yang diangkap pemerintah demokratik Myanmar (The Diplomat, 3 Maret 2022).
Junta militer Myanmar dan Taliban sudah mengangkat dubes baru, tetapi tidak diakui oleh PBB. Maka, sikap mereka di PBB berbeda dengan sikap penguasa dalam negeri.
Di Kabul, pemerintah Taliban memberikan sikap lebih netral, dan menyerukan “kedua belah pihak” untuk “menahan diri”. Maka mereka memilih abstain.
Di atas sudah disebut bahwa sikap negara-negara anggota ASEAN terhadap resolusi “Agresi terhadap Ukraina” berbeda-beda sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing. Ini adalah lumrah dan sah.
Dari 10 negara anggota, delapan di antaranya—Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Singapura, dan Thailand—mendukung resolusi. Dua negara memilih abstain: Vietnam dan Laos.
Tetapi suara Myanmar, seperti disebut di atas tidak mewakili rezim junta militer yang sekarang berkuasa.
“Myanmar mengutuk invasi Ukraina dan serangan tak beralasan terhadap rakyat Ukraina,” kata Kyaw Moe Tun pada Rabu dalam debat UNGA.
Baca artikel sebelumnya: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian II)
Tetapi, Junta Myanmar, telah menawarkan dukungan kuat untuk tindakan Rusia (The Diplomat, 3 Maret 2022)
Sikap paling keras ditunjukkan oleh Singapura yang mengutuk Rusia dengan menyebut nama dan mengumumkan serangkaian sanksi keuangan dan tindakan pengendalian ekspor terhadap Moskwa.
Seperti halnya invasi Vietnam ke Kamboja pada tahun 1978, pendudukan Irak atas Kuwait pada tahun 1990 dan aneksasi Rusia atas Krimea pada tahun 2014, Singapura menyatakan, invasi militer Rusia yang “tanpa alasan” melanggar hukum internasional dan Piagam PBB yang melarang tindakan agresi terhadap kedaulatan negara bagian (Fulcrum, 15 Maret 2022 dan ISEAS Perspective 2022/24, 9 Maret 2022).
Perdana Menteri Lee Hsien Loong memperingatkan bahwa jika hubungan internasional didasarkan pada “kekuatan adalah yang benar”, “dunia akan menjadi tempat yang berbahaya bagi negara-negara kecil seperti Singapura”.
Brunei mengutuk “setiap pelanggaran kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial negara mana pun”.
Filipina awalnya fokus untuk mengevakuasi warganya dari Ukraina. Tetapi kemudian Menhan Delfin Lorenzana, menyatakan Filipina akan tetap "netral" karena konflik itu "bukan urusan kita".
Pendekatannya sangat kontras dengan upaya Filipina untuk menginternasionalkan sengketa Laut Cina Selatan.
Baru kemudian hari, Filipina menyatakan "kecaman eksplisit atas invasi Ukraina".
Sikap Malaysia dan Thailand hampir sama. PM Malaysia Ismail Sabri Yaakob mengatakan "sedih."
Baca artikel sebelumnya: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian III)