Menurut klasifikasi Kementerian Luar Negeri AS, 18 persen suara MU PBB terkait dengan konflik Israel-Palestina.
Ada resolusi MU PBB yang lebih signifikan antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) dan Deklarasi Milenium (2000).
Meski demikian, resolusi tersebut tetaplah dianggap penting sebagai cerminan sikap negara-negara anggota terhadap situasi keamanan dunia.
Diterbitkannya resolusi menegaskan keprihatinan negara-negara pecinta damai terhadap rusaknya perdamaian dan keamanan di Ukraina, yang akan berdampak pada dunia.
Resolusi itu merupakan deklarasi politik atau pendapat politik. Karena itu, tidak semua negara anggota menganggap agenda politik ini sebagai sesuatu yang sangat serius, kecuali agenda itu berdampak terhadap kepentingan mereka atau sekutunya.
Baca juga: Putin, Testing The Water
Satu hal yang harus dicatat, MU PBB adalah satu-satunya badan perwakilan universal di mana semua negara anggota menikmati status sama dan secara terbuka menggunakan preferensi suara mereka sebagai entitas berdaulat.
Antara tahun 2001 dan 2017, total 1.284 resolusi diadopsi oleh suara yang direkam/roll-call di UNGA di mana setiap negara bagian mengungkapkan preferensinya dengan setuju, (ya), tidak setuju (tidak), atau abstain dari pemungutan suara (Mohammad Zahidul Islam Khan, 2020).
Kata Islam Khan, meskipun resolusi ini tidak mengikat—dianggap sebagai “tidak penting,” (“inconsequential”)—tetapi platform tetap menjadi sumber unik untuk mengamati dan membandingkan posisi kebijakan relatif dari setiap negara anggota dalam pengaturan kelembagaan yang sama.
Preferensi pemungutan suara mungkin tidak sepenuhnya merupakan cerminan “sejati” dari “pikiran” suatu negara.
Ini karena pemungutan suara di UNGA terkadang bergantung pada agenda strategis negara anggota dan pengaruh yang diberikan oleh aktor global dan regional utama.
Preferensi dan kesamaan kepentingan di antara negara-negara anggota yang diungkapkan dengan pilihan terhadap sebuah resolusi harus ditafsirkan dengan hati-hati.
Preferensi pemungutan suara negara-negara di UNGA, mencerminkan pilihan kebijakan unik mereka—disampaikan baik sebagai ekspresi komitmen terhadap nilai-nilai fundamental tertentu, yang dipengaruhi oleh kebutuhan strategis atau kombinasi keduanya.
Maka itu, ada berbagai alasan mengapa sebuah atau beberapa negara, misalnya, memilih sikap abstain, atau tidak memberikan suara sama sekali terhadap resolusi.
Keputusan tersebut diambil bisa karena alasan blok politik atau preferensi politik. Sebagian besar dari resolusi di sebagian besar badan dalam sistem PBB disetujui melalui konsensus di mana tidak ada suara yang diambil.
Sebaliknya, resolusi Majelis Umum sering ditentang dan memerlukan pemungutan suara, sebagian karena sifat yang lebih politis dan aspek yang tidak mengikat dari resolusi Majelis Umum (Voting Practices in the United Nations for 2019).
Keberadaan blok-blok di MU PBB diakui secara luas sejak berdirinya PBB. Perhatian khusus pada fenomena blok politik mulai setelah 1950.
Blok-blok politik tersebut memainkan peranan penting dalam keputusan MU PBB. Peran blok politik tersebut sangat kentara pada sidang MU PBB tahun 1956, 1957, dan 1958 ketika membahas isu-isu kolonialisme (Cambridge University Press, 1 Augustus 2014)
Sekadar contoh tentang adanya blok tersebut. Pada tanggal 3 November 1950, MU PBB mengadopsi resolusi 377 A (V), yang diberi judul “Bersatu untuk Perdamaian.”
Baca juga: Indonesia “Yes” dan India “Abstain”
Pengesahan resolusi ini dilakukan sebagai tanggapan atas strategi Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) untuk memblokir setiap keputusan Dewan Keamanan (DK) mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk melindungi Republik Korea dari agresi militer dari Korea Utara.
Pada tahap awal konflik bersenjata ini, Juni 1950, DK dapat merekomendasikan kepada anggota PBB untuk “memberikan bantuan kepada Republik Korea yang mungkin diperlukan untuk mengusir serangan bersenjata dan memulihkan perdamaian dan keamanan internasional di kawasan” (resolusi 83 (1950) tanggal 27 Juni 1950).
Resolusi tersebut dapat disahkan karena Uni Soviet saat itu memboikot pertemuan DK (Christian Tomuschat, 2008).