Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dapat Dukungan Parlemen, Presiden Sri Lanka Umumkan Negara dalam Keadaan Darurat

Kompas.com - 07/09/2021, 21:03 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Al Jazeera

COLOMBO, KOMPAS.com - Keputusan Presiden Sri Langka menerapkan status keadaan darurat di negaranya mendapat persetujuan dari parlemen.

Status itu dianggap perlu untuk mengendalikan harga pangan dan mencegah penimbunan di tengah kekurangan beberapa bahan pokok.

Baca juga: Pelaku Penikaman di Selandia Baru Terinspirasi ISIS, Berasal dari Sri Lanka

Legislator oposisi pada Senin (6/9/2021) tetap menilai deklarasi keadaan darurat tidak diperlukan karena undang-undang lain dapat digunakan untuk menjaga pasokan penting.

Oposisi khawatir aturan darurat yang keras dapat disalahgunakan untuk melumpuhkan kritik.

Undang-undang darurat memungkinkan pihak berwenang menahan orang tanpa surat perintah, menyita properti, memasuki dan menggeledah setiap tempat, menangguhkan undang-undang dan mengeluarkan perintah yang tidak dapat dipertanyakan di pengadilan.

Pejabat yang mengeluarkan perintah tersebut juga kebal dari tuntutan hukum.

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat pada 30 Agustus.

Konstitusi mengharuskannya disetujui dalam waktu 14 hari oleh 225 anggota parlemen, di mana partai yang memerintah memiliki lebih dari 150 kursi.

Al Jazeera mewartakan pada Kamis (7/9/2021), resolusi tersebut menerima 132 suara mendukung dan 51 suara menentang.

Baca juga: Di Tengah Lonjakan Covid-19, Sri Lanka Mulai Pakai Peti Mati Kardus untuk Makamkan Jasad Korban

Pemerintah mengeklaim telah memaksimalkan upaya untuk menggunakan hukum normal, tetapi kasus pengadilan yang diajukan tertunda oleh pandemi.

Para legislator partai yang berkuasa menyatakan keadaan darurat diumumkan hanya karena pilihan lain tidak berhasil.

Mereka berdalih pemerintah tidak bermaksud menggunakan peraturan darurat untuk melawan oposisi.

Sri Lanka kerap diperintah di bawah keadaan darurat selama lebih dari 50 tahun terakhir karena mengalami dua pemberontakan Marxis dan perang saudara selama beberapa dekade.

Pihak berwenang sering dituduh menggunakan aturan untuk menekan lawan.

Dalam beberapa pekan terakhir, terjadi kelangkaan barang-barang penting seperti gula, susu bubuk, dan gas untuk memasak.

Pemerintah mengatakan penimbun secara artifisial menciptakan kelangkaan.

Negara ini juga menghadapi krisis valuta asing yang dipicu oleh penurunan pariwisata dan ekspor, bersama dengan pembayaran pinjaman yang besar.

Baca juga: Bongkahan Safir Bintang Terbesar di Dunia Ditemukan di Sri Lanka, Ditaksir Nilainya Rp 1,4 Triliun

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Warga Thailand Pakai Boneka Doraemon dalam Ritual Panggil Hujan, Kok Bisa?

Warga Thailand Pakai Boneka Doraemon dalam Ritual Panggil Hujan, Kok Bisa?

Global
Dokter Palestina Meninggal Usai Ditahan 4 Bulan di Penjara Israel

Dokter Palestina Meninggal Usai Ditahan 4 Bulan di Penjara Israel

Global
88 Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat Desak Biden Pertimbangkan Setop Jual Senjata ke Israel

88 Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat Desak Biden Pertimbangkan Setop Jual Senjata ke Israel

Global
Banjir Brasil, 39 Tewas dan 74 Orang Hilang

Banjir Brasil, 39 Tewas dan 74 Orang Hilang

Global
Turkiye Setop Perdagangan dengan Israel sampai Gencatan Senjata Permanen di Gaza

Turkiye Setop Perdagangan dengan Israel sampai Gencatan Senjata Permanen di Gaza

Global
Dirjen WHO: Rafah Diserang, Pertumpahan Darah Terjadi Lagi

Dirjen WHO: Rafah Diserang, Pertumpahan Darah Terjadi Lagi

Global
Cerita Dokter AS yang Tak Bisa Lupakan Kengerian di Gaza

Cerita Dokter AS yang Tak Bisa Lupakan Kengerian di Gaza

Global
Asal-usul Yakuza dan Bagaimana Nasibnya Kini?

Asal-usul Yakuza dan Bagaimana Nasibnya Kini?

Global
Hujan Lebat di Brasil Selatan Berakibat 39 Orang Tewas dan 68 Orang Masih Hilang

Hujan Lebat di Brasil Selatan Berakibat 39 Orang Tewas dan 68 Orang Masih Hilang

Global
Rangkuman Hari Ke-800 Serangan Rusia ke Ukraina: '150.000 Tentara Rusia Tewas' | Kremlin Kecam Komentar Macron

Rangkuman Hari Ke-800 Serangan Rusia ke Ukraina: "150.000 Tentara Rusia Tewas" | Kremlin Kecam Komentar Macron

Global
Hamas Sebut Delegasinya Akan ke Kairo Sabtu Ini untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Hamas Sebut Delegasinya Akan ke Kairo Sabtu Ini untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Global
[POPULER GLOBAL] Pelapor Kasus Boeing Tewas | Pria India Nikahi Ibu Mertua 

[POPULER GLOBAL] Pelapor Kasus Boeing Tewas | Pria India Nikahi Ibu Mertua 

Global
Saat Warga Swiss Kian Antusias Belajar Bahasa Indonesia...

Saat Warga Swiss Kian Antusias Belajar Bahasa Indonesia...

Global
Lulus Sarjana Keuangan dan Dapat Penghargaan, Zuraini Tak Malu Jadi Pencuci Piring di Tempat Makan

Lulus Sarjana Keuangan dan Dapat Penghargaan, Zuraini Tak Malu Jadi Pencuci Piring di Tempat Makan

Global
Bendungan di Filipina Mengering, Reruntuhan Kota Berusia 300 Tahun 'Menampakkan Diri'

Bendungan di Filipina Mengering, Reruntuhan Kota Berusia 300 Tahun "Menampakkan Diri"

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com