Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Israel-Palestina (5): Perang 6 Hari dan Upaya Damai

Kompas.com - 15/05/2021, 05:00 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Wajah Palestina berubah setelah “Perang Enam Hari” pecah pada 5 Juni 1967. Israel mengawali perang terhadap bangsa Arab itu dengan menyerbu pasukan Mesir.

Dua gelombang serangan udara dikirim untuk menghancurkan 286 pesawat tempur Mesir. Sementara itu, pasukan darat Israel juga mulai merangsek masuk di Gurun Sinai.

Baca juga: Perang 6 Hari 1967 yang Mengubah Timur Tengah

Anehnya, respon militer Mesir sangat minim dan menjelang tengah hari, Angkatan Udara (AU) Israel berani memastikan bahwa AU Mesir sudah lumpuh.

Pasukan Israel berhasil menguasai wilayah itu hanya dalam tiga hari, dengan pernyataan genjatan senjata yang disampaikan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser.

Di sisi lain, militer Jordania sudah menembaki kota Yerusalem meski Israel pada hari pertama perang. Padahal sejak awal “Negeri Zionis sudah meminta Jordania untuk tidak ikut campur.”

Artileri Jordania juga menembaki Tel Aviv, sementara AU Jordania menyerang sejumlah kota Israel. Setelah upaya gencatan senjata ditolak Jordania, Israel menyerang negeri itu.

Pada 8 Juni 1967, Israel akhirnya bisa menguasai Tepi Barat dan Yerusalem.

Suriah, yang ikut terjun dalam perang ini, sejatinya melancarkan serangan bersamaan dengan Jordania sejak awal. Artileri Suriah di Dataran Tinggi Golan menghujani wilayah Israel dengan tembakan bertubi-tubi.

Setelah mengatasi Mesir, militer Israel akhirnya dikerahkan untuk menanggapi serangan Suriah. Pada 10 Juni 1967, Israel sepakat melakukan gencatan senjata dengan Suriah setelah berhasil menguasai dataran tinggi Golan.

Perang enam hari usai dengan kemenangan mutlak di tangan Israel. Hasil dari perang ini, Israel merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir. Dari Jordania, Israel merebut Tepi Barat dan menguasai dataran tinggi Golan.

Baca juga: Masjid Al-Aqsa, Titik Pertikaian Panjang Palestina-Israel

Klaim Yerusalem

Buntut kemenangan itu, Israel menduduki Jalur Gaza dan Tepi Barat yang banyak dihuni pengungsi Palestina hasil perang Arab-Israel 1948.

Setidaknya, satu juta warga Palestina kini berada di bawah kekuasaan Israel sejak 1967.

Pasca Perang itu, fokus kelompok-kelompok perlawanan Palestina sedikit berubah, Mereka bertekad membebaskan Jalur Gaza dan Tepi Barat dari pendudukan Israel, sebagai langkah awal kemerdekaan seluruh Palestina.

Salah satu masalah besar dalam konflik Israel-Palestina adalah status kota Yerusalem. Pada 1980, Israel menyatukan Yerusalem Barat dan Timur sekaligus mengklaim kota itu sebagai ibu kota negara Yahudi.

Namun, Palestina juga mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka. Saling klaim Yerusalem ini menjadi salah satu ganjalan dalam proses perdamaian di Timur Tengah hingga kini.

Ganjalan lain yang menghambat proses perdamaian antara Israel dan Palestina adalah kebijakan Israel membangun permukiman Yahudi di wilayah pendudukannya.

Kebijakan itu dilakukan sejak Partai Likud berkuasa di Israel pada 1977.

Baca juga: Perjanjian Camp David, Perdamaian Dingin Israel-Mesir

Camp David

Pasca “Perang Enam Hari” yang mengubah nasib bangsa Palestina, konflik bersenjata masih terus mewarnai "hubungan" Palestina dan Israel.

Usaha damai coba diupayakan kedua bangsa ini, meski kerap berakhir dengan kegagalan. Salah satu proses perdamaian yang cukup signifikan adalah perjanjian Camp David pada 17 September 1978.

Perjanjian damai itu ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem, di rumah peristirahatan Presiden AS, Camp David.

Berdasarkan perjanjian Camp David inilah akhirnya pada Maret 1979, Mesir dan Israel menandatangani pakta perdamaian.

Berdasarkan perjanjian damai ini, Israel akan mengembalikan Semenanjung Sinai, yang direbut dalam Perang Enam Hari 1967 kepada Mesir.

Selain itu, perjanjian damai ini juga membahas pembentukan pemerintahan otonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Akan tetapi, upaya pembicaraan masa depan Palestina ini gagal. Sebab, Palestina tidak menerima proposal otonomi terbatas untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza seperti diajukan Israel.

Sementara itu, Israel juga menolak melakukan negosiasi dengan (Organisasi Pembebasan Palestina) PLO. Padahal, organisasi itu sudah diakui PBB sebagai entitas perwakilan bangsa Palestina.

Kebuntuan ini berujung dengan berbagai kekerasan. Diantaranya pada 1982, yang dikenal dengan nama Perang Lebanon, dan pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982.

Baca juga: Perjanjian Oslo: Jejak Upaya Damai Atas Konflik Israel dan Palestina yang Terus Dilanggar

Perjanjian Oslo

Pada 1987, pecahlah apa yang disebut dengan Intifada Pertama, yaitu perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Pada awal 1990-an, PLO mengubah taktik perjuangannya. Cara-cara keras menggunakan senjata mulai ditinggalkan, dan beralih mencoba cara-cara diplomasi.

Pada awal 1993, para perunding Israel dan PLO melakukan serangkaian pembicaraan rahasia di Oslo, Norwegia.

Pada 9 September 1993, Pemimpin PLO Yasser Arafat mengirim surat kepada PM Israel Yitzhak Rabin.

Isi surat itu adalah PLO mengakui hak hidup Israel dan secara resmi meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata.

Pada 13 September 1993, Arafat dan Rabin menandatangani perjanjian di Washington DC yang kemudian menjadi dasar negosiasi yang berlangsung di Oslo, Norwegia.

Setelah melalui jalan panjang, proses perdamaian Oslo dimulai. Dalam prosesnya, kedua pihak diwajibkan merundingkan solusi dua negara.

Namun, pembicaraan menuju solusi dua negara gagal, dan PLO-Israel mencoba mencari kesepakatan yang saling menguntungkan.

Proses pembicaraan ini akhirnya selesai pada 20 Agustus 1993.

Meskipun namanya adalah perjanjian Oslo, tetapi kesepakatan antara PLO dan Israel ini ditandatangani Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin di Washington DC dengan disaksikan Presiden AS Bill Clinton.

Saat itulah terjadi momen bersejarah ketika Yasser Arafat berjabat tangan dengan Yitzhak Rabin.

Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Yitzhak Rabin, Sosok Pendamai Israel dan Palestina yang Berakhir Tragis

Salah satu bagian penting Perjanjian Oslo ini adalah terbentuknya pemerintahan Otorita Palestina yang membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Di bawah perjanjian ini Palestina mulai mendapat wewenang memerintah di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Palestina bahkan sudah bisa membentuk perangkat pemerintahan, kepolisian, parlemen, dan institusi pemerintahan lain.

Imbal baliknya, Otorita Palestina harus mempromosikan toleransi terhadap Israel dan mengakui hak Israel untuk tetap eksis.

Pada 28 September 1995, Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Interim Israel-Palestina.

Di bawah kesepakatan ini, para pemimpin PLO bisa kembali ke daerah pendudukan dan memberikan otonomi kepada bangsa Palestina. Imbalannya tetap sama, yaitu mengakui keberadaan Israel dan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam perjuangan.

Namun, kesepakatan ini ditentang Hamas dan sejumlah faksi radikal Palestina yang siap melakukan perjuangan bersenjata demi membebaskan Palestina.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Ervan Hardoko | Editor: Ervan Hardoko)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com