TOBRUK, KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa mengutuk kerusuhan di Libya oleh pengunjuk rasa yang menyerbu gedung parlemen dan melakukan pembakaran di Tobruk, untuk mengekspresikan kemarahan atas pemadaman listrik baru-baru ini.
Stasiun televisi lokal melaporkan bahwa pengunjuk rasa masuk ke gedung parlemen di Tobruk pada Jumat (1/7/2022) dan melakukan tindakan vandalisme. Gambar juga menunjukkan kolom asap hitam yang datang dari luar gedung.
Pasukan keamanan yang melindungi parlemen mundur dari lokasi itu, menurut Reuters mengutip seorang saksi mata.
Dilansir dari DW pada Sabtu (2/7/2022), Penasihat khusus PBB untuk Libya, Stephanie Williams, menyebut penyerbuan gedung pemerintah "sama sekali tidak dapat diterima" sambil bersikeras bahwa "hak rakyat untuk melakukan protes secara damai harus dihormati dan dilindungi."
Dia menyerukan "pengendalian" di semua sisi.
Kepala delegasi Uni Eropa di Libya Jose Sabadell di hari yang sama mengatakan "protes harus dilakukan secara damai dan menghindari segala jenis kekerasan," menambahkan bahwa "pengendalian khusus diperlukan mengingat situasi yang rapuh."
Parlemen Libya, atau Dewan Perwakilan Rakyat, telah berbasis di Tobruk, ratusan kilometer sebelah timur ibu kota, Tripoli, sejak perpecahan timur-barat pada 2014.
Kerusuhan pada saat itu disebabkan oleh pemberontakan dan intervensi barat, yang menggulingkan diktator lama Muammar Gaddhafi tiga tahun sebelumnya.
Sebuah badan saingan, yang secara resmi dikenal sebagai Dewan Tinggi Negara, bermarkas di Tripoli.
Negara yang terpecah
Di Lapangan Martir Tripoli, beberapa ratus orang berkumpul untuk meneriakkan slogan-slogan menuntut listrik, mengkritik faksi-faksi bersenjata dan politisi dan menuntut pemilihan umum dalam protes terbesar ibu kota terhadap elit penguasa selama bertahun-tahun.
Kemarahan pada situasi meluas melintasi kesenjangan geografis antara kekuatan saingan negara itu. Protes yang lebih kecil dari puluhan demonstran juga terjadi masing-masing di Benghazi dan Tobruk dan beberapa kota kecil.
Libya telah mengalami beberapa hari pemadaman listrik, diperburuk oleh blokade beberapa fasilitas minyak dengan latar belakang persaingan politik.
"Kami ingin lampu menyala," teriak pengunjuk rasa.
Dukungan dari Tripoli
Abdul Hamid Dbeibah, kepala Pemerintah Persatuan Nasional Libya, mengatakan dia mendukung para pengunjuk rasa.
Dia meminta semua institusi untuk bubar termasuk pemerintah, menambahkan bahwa penyelesaian masalah hanya mungkin melalui "pemilihan umum."
Dbeibah adalah perdana menteri Libya sementara, yang menjabat ditunjuk oleh komisi yang didukung PBB pada 2021.
Dia sejak itu menolak mundur, dengan mengatakan hanya akan melakukannya jika ada pemerintahan terpilih. Pemerintahannya berbasis di ibu kota Tripoli.
Sementara itu saingannya, Fathi Bashagha, diangkat sebagai perdana menteri oleh parlemen timur negara itu, yang berbasis di kota Tobruk, pada Februari 2022. Pemerintahannya didukung oleh komandan militer Jenderal Khalifa Haftar.
Kedua belah pihak didukung oleh milisi dan kekuatan asing yang berbeda.
Kebuntuan politik
Pemilihan presiden dan parlemen, yang semula ditetapkan pada Desember tahun lalu, dimaksudkan untuk mengakhiri proses perdamaian yang dipimpin PBB, setelah berakhirnya putaran kekerasan besar terakhir pada 2020.
Tetapi pemungutan suara tidak pernah terjadi, karena beberapa pencalonan yang kontroversial dan ketidaksepakatan terkait hukum jajak pendapat antara sumber-sumber kekuatan yang bersaing di timur dan barat negara itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan pada Kamis (30/6/2022) bahwa pembicaraan antara lembaga-lembaga Libya yang bersaing yang bertujuan untuk memecahkan kebuntuan telah gagal untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan utama.
https://www.kompas.com/global/read/2022/07/03/083300470/kerusuhan-di-libya-pecah-lagi-pengunjuk-rasa-serbu-dan-bakar-gedung