Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fakta dan Misteri 137 Detik Kecelakaan Boeing 737-800 NG China Eastern Airlines MU5735

PESAWAT Boeing 737-800 NG dari China Eastern Airlines dengan kode penerbangan MU5735 rute Kunming-Guangzhou, jatuh di kawasan pegunungan Guangxi, China, Senin (21/3/2022) siang waktu setempat. 

Bernomor register B-1791, pesawat ini merupakan model Boeing 737-89P, bagian dari seri Boeing 737-800 Next Generation (NG), pendahulu Boeing 737-800 MAX.

Merujuk data FlighRadar24, pesawat hilang kontak dari radar dan dipastikan jatuh di kawasan Guangxi, yang sudah mendekati tujuan penerbangan pesawat tersebut pada siang itu. 

Masih merujuk data yang sama, pesawat terpantau berada di ketinggian jelajah hingga satu detik sebelum pukul 06.20 UTC atau pukul 13.20 WIB, dengan kecepatan darat 455 Knot, setara sekitar 843 kilometer per jam. 

Tiba-tiba, ketinggian pesawat susut drastis dalam 137 detik, meski kecepatan relatif tak berubah, untuk beberapa saat. Lalu pesawat hilang kontak. Tak berselang lama, pesawat dengan 123 penumpang dan sembilan kru ini dipastikan jatuh. 

Tak kurang dari Presiden China Xi Jinping menyatakan terpukul dengan musibah ini. Dia pun sontak memerintahkan dan mengerahkan pasukan untuk pencarian korban dan reruntuhan pesawat. Investigasi pun diperintahkan segera digelar. 

Berikut ini data interaktif penerbangan tersebut:

Data yang janggal

Setiap kali ada peristiwa kecelakaan pesawat, salah satu rujukan awal adalah data milik FlightRadar24. Namun, data dari kecelakaan pesawat China Eastern Airlines pada Senin (21/3/2022) siang waktu setempat dianggap janggal.

Data dari laman versi gratis dan yang berbayar, misalnya, berbeda pada Senin malam. Di versi berbayar, tampilan data sempat memperlihatkan posisi pesawat yang lama berada di ketinggian sekitar 8.000 kaki, sebelum hilang kontak dan dipastikan jatuh.

Rincian data di versi berbayar tersebut berbeda dengan versi gratis yang memperlihatkan pesawat berada di ketinggian jelajah hingga sekitar tiga menit terakhir sebelum ketinggiannya anjlok lalu jatuh. 

Hingga, pada Selasa (22/3/2022) pagi, tampilan data di FlightRadar24 juga sempat memperlihatkan ketidaksinkronan antara data ketinggian di grafik dan angka ketinggian terkalibrasi yang ada di bawah grafik.

"Ini janggal. Baru kali ini melihat data mereka berubah-ubah begitu," kata pemerhati penerbangan, Yayan Mulyana, Selasa pagi. 

Kejanggalan soal data penerbangan tersebut ditangkap pula oleh mantan Direktur Biro Penyelidik dan Analisis Keselamatan Penerbangan Sipil Perancis, Jean-Paul Troadec, sebagaimana dikutip AFP, Selasa. 

Menyitir Troadec, AFP menulis bahwa terlalu dini saat ini untuk menarik kesimpulan soal penyebab kecelakaan tetapi pola data di FlightRadar24 sangat tidak biasa. 

Bila dicermati juga dari grafik berdasarkan data FlightRadar24 di atas, pencatatan data penerbangan tersebut tidak proporsional dalam konteks jeda waktu antar-poin data sinyal dari aoutomatic dependent surveillance-broadcast (ADS-B). Ini berbeda dengan sejumlah kecelakaan lain yang pernah terjadi.

Misal, yang paling kentara, ada jeda 137 detik antara penanda waktu pukul 06:19:59 dan 06:22:16, ketika ketinggian pesawat anjlok dari ketinggian 29.100 kaki ke posisi 9.075 kaki. Lalu, jeda waktu berikutnya, berturut-turut hingga data terakhir, adalah 11 detik, empat detik, dan empat detik. 

Cek lagi data penerbangan, ini versi statis atau tidak interaktifnya:

Sebelumnya, jeda panjang tanpa "ping" ADS-B tercatat hanyalah pada posisi ketinggian yang tidak berubah. Bahkan, perubahan ketinggian 200 kaki pada penanda waktu dari pukul 05:17:34 UTC ke pukul 05:17:44 UTC saja tercatat. 

"Untuk analisis, butuh data sampai ke hitungan detik itu, untuk tahu apa yang terjadi dalam kecelakaan tersebut," kata Yayan. 

Sementara itu, sama-sama menggunakan data ADS-B yang otomatis dikirim dari pesawat tanpa campur tangan manusia, data FlightAware berbeda cukup jauh dengan data dari FlightRadar24.

Misal, FlightRadar24 memunculkan 63 data ping ADS-B, FlightAware—setidaknya di versi tidak berbayar—hanya memunculkan data 25 ping.

Terlepas bahwa FlightRadar24 menggunakan acuan waktu UTC yang setara dengan GMT dan FlightAware mengacu ke EDT yang berselisih waktu empat jam dengan UTC, minutasi yang muncul untuk setiap ping juga tak bisa saling dikomparasikan.

Buat catatan, selain menggunakan satuan kecepatan Knot, FlightAware juga memakai angka dalam mil per jam (mph). Kecepatan yang muncul di grafik versi FlightAware adalah dalam satuan mph ini. 

Dewan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) Amerika Serikat dalam pernyataannya menyatakan telah mengutus tenaga ahli senior untuk turut menginvestigasi kecelakaan ini. Badan Penerbangan Federal (FAA) Amerika Serikat digandeng pula untuk penyelidikan.

Bacaan sementara data

Meski sempat melihat kejanggalan data, Yayan berkeyakinan pesawat bukan jatuh bebas dari ketinggian jelajah.

"Bukan dari posisi 29.100 kaki tapi dari 8.335 kaki. Ketinggian pesawat sempat turun terlebih dahulu. Kecepatan darat (ground speed) masih terpantau berubah yang artinya pesawat masih ada pergerakan ke depan, bukan yang tiba-tiba dari kecepatan semula jadi nol," papar Yayan.

Ketika data dari FlightRadar24 masih berubah-ubah, Yayan sempat menduga pesawat kehilangan tekanan kabin untuk beberapa lama. Ini dari melihat ketinggian pesawat yang turun hingga ke bawah 10.000 kaki selama beberapa waktu, jauh sebelum pesawat hilang kontak.

"Setelah data stabil, setidaknya yang muncul ke publik, tampaknya kunci kecelakaan ini pada 137 detik antara pukul 06:19:59 dan 06:22:16 UTC itu," kata Yayan. 

Dengan data yang tersedia bagi publik hingga saat ini, ungkap Yayan, besar kemungkinan kecelakaan terjadi karena ada persoalan di kendali penerbangan (flight control). Terlebih lagi, pesawat seharusnya masih berada di mode autopilot saat kecelakaan terjadi. 

"Ini kemungkinan akan jadi fokus penyelidikan," kata Yayan. 

Memeriksa rute dan jadwal penerbangan, Yayan juga berpendapat pesawat belum pada posisi untuk bersiap melakukan pendaratan. 

"Masih setengah jam penerbangan. Belum itu," kata dia. 

Saham Boeing tergelincir

Tak hanya saham China Eastern Airlines yang langsung terpuruk di bursa. Ketika pesawat bernomor register B-1791 dinyatakan jatuh, saham Boeing di bursa Amerika Serikat juga langsung tergelincir begitu muncul kabar kecelakaan ini.

Pada pembukaan perdagangan Senin waktu New York, saham Boeing sempat anjlok ke posisi minus 6 persen dan di akhir perdagangan ditutup dengan minus 3,59 persen di level 185,90 dollar AS per lembar.

Menjelang pembukaan pasar pada Selasa waktu setempat, saham Boeing bahkan terpantau menghijau tipis. Sekadar catatan, harga saham Boeing sebelum pandemi adalah 350 dollar AS selembar pada 2019, bahkan setelah tragedi yang melibatkan Boeing 737-800 MAX. 

Tragedi ini bagi Boeing ibarat luka lama belum sembuh yang disiram segentong air cuka. Pasalnya, baru dalam hitungan hari sejumlah analis berkomentar bahwa pasar akhirnya terlihat mengizinkan Boeing untuk sedikit bernapas lega. 

Sejak kecelakaan fatal yang melibatkan Boeing 737-800 MAX di Indonesia pada 2018 dan di Ethiopia pada 2019, perusahaan ini berjibaku memulihkan kepercayaan publik dan citra mereka di dunia penerbangan.

Pembatalan pemesanan dan pelarangan penggunaan pesawat yang sejatinya digadang-gadang sebagai masa depan perusahaan itu sempat membuat Boeing nyaris bangkrut. Belum semua negara sampai saat ini sudah mencabut larangan penggunaan Boeing 737-800 MAX.

Pandemi yang membatasi mobilitas publik menambah suram Boeing, dengan terpuruknya industri penerbangan global. 

Dalam sejarah, diperkirakan hanya 0,07 per satu juta penerbangan pesawat 737-800 NG terlibat kecelakaan fatal. Seperti dikutip Bloomberg dari Airsafe.com, angka pada 2019 tersebut menempatkan pesawat ini dalam jajaran langka bersama Boeing 737-400 dan keluarga Airbus SE A320.

Salah satu insiden melibatkan pesawat 737-800 NG terjadi di perairan Bali pada 13 April 2013. Penerbangan Lion Air 904 terpeleset ke perairan saat berusaha mendarat di Bandara Ngurah Rai. Namun, semua penumpang dan kru selamat.

Kecelakaan fatal terakhir Boeing 737-800 NG sebelum tragedi Guangxi terjadi pada Agustus 2020. Pesawat Air India Express tergelincir di landasan pacu di Kozhikode, India, menewaskan 21 orang.

Penelusuran Kompas.com mendapati pesawat bernomor registrasi B-1791 ini baru diserahterimakan ke China Eastern Airlines pada 22 Juni 2015. Status pesawat adalah sewaan dari Yamasa Aircraft Leasing.

Bertubi-tubi nasib Boeing

Media China melaporkan bahwa China Eastern Airlines langsung memutuskan mengandangkan semua pesawat Boeing 737-800 mereka setelah tragedi di awal pekan ini. Mereka memiliki 109 pesawat dari keluarga Boeing 737-800, termasuk yang jatuh pada Senin siang waktu setempat.

China adalah negara dengan catatan keselamatan penerbangan tinggi sejauh ini. Saat saudara muda di keluarga Boeing 737-800, Boeing 737-MAX, mengalami kecelakaan fatal di Indonesia dan Ethiopia, China langsung melakukan pelarangan penggunaan pesawat tersebut.

Pelarangan Boeing 737-800 MAX di China baru berakhir pada Desember 2021 dengan penerbitan ulang lisensi. Itu pun, hingga hari ini belum ada pesawat tersebut yang digunakan kembali di penerbangan komersial.

Sebelum tragedi pada Senin atas pesawat Boeing 737-800 B-1791, kecelakaan fatal terakhir penerbangan China tercatat pada 24 Agustus 2010.

Mengutip Reuters, saat itu 44 dari 96 orang di pesawat Embraer E-190 meninggal, saat pesawat dari maskapai Henan Airlines tersebut mengalami kecelakaan dalam upaya pendaratan di Bandara Yichun.

Butuh waktu berminggu-minggu, bulan, bahkan bisa tahun, untuk mengungkap sebuah peristiwa kecelakaan pesawat. Bagi Boeing, ini adalah tambahan beban berat setelah bencana Boeing 737-800 MAX serta penundaan panjang untuk produksi dan pengiriman Boeing 787 Dreamliner. 

Direktur Pelaksana Lembaga Riset Keuangan Melius Research, Rob Spingan, menyebut pengungkapan tuntas atas insiden China Eastern Ailines ini akan berarti penting bagi Boeing, karena tak bisa ditepis ada kekhawatiran soal pabrikan pesawat Amerika Serikat tersebut.

"Komunitas investasi akan berhenti sampai batas tertentu di Boeing sampai informasi itu keluar,” ujar Spingan, seperti dikutip New York Times, Senin.

China adalah pasar besar Boeing, tak hanya untuk seri Boeing 737-800. Posisinya, nomor dua setelah pasar domestik Amerika Serikat.

Dari kisaran 25.000 pesawat penumpang komersial di dunia, diyakini 17 persen di antaranya adalah Boeing 737-800 NG, merujuk perusahaan data penerbangan Cirium. Dari jumlah itu, 1.200 di antaranya ada di maskapai China, hampir seribu di Eropa, dan 800-an di Amerika Serikat. 

Proyeksi industri penerbangan, China pada 2040 akan butuh tambahan 8.700 pesawat baru. Tampaknya Boeing harus punya tenaga ekstra mengungkap kecelakaan ini bila masih ingin berpartisipasi di pasar senilai 1,47 triliun dollar AS tersebut. 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

https://www.kompas.com/global/read/2022/03/22/182640670/fakta-dan-misteri-137-detik-kecelakaan-boeing-737-800-ng-china-eastern

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke