Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Hari-hari Pertama Kehidupan di Bawah Pemerintahan Taliban

KABUL, KOMPAS.com - Dengan berakhirnya gelombang terakhir pasukan AS pergi dari Afghanistan dan proses evakuasi selesai, perempuan dipaksa untuk membuat pilihan pribadi yang memilukan.

Mereka dipaksa memilih untuk dapat bertahan hidup di bawah rezim Taliban yang ultra-religius dan konservatif.

Dilansir Independent, hampir empat juta orang Afghanistan di bawah pemerintahan penuh Taliban sekarang khawatir hidup mereka tidak akan sama lagi.

Kelompok garis keras itu memberlakukan pembatasan ketat saat mereka menyelesaikan kerangka pemerintahan baru.

Terlepas dari klaim tinggi tentang aturan progresif Taliban, para wanita mulai membakar pakaian mereka yang kemungkinan besar tidak akan disetujui rezim ekstremis.

Para pria mulai menumbuhkan janggut, sementara sekolah dan universitas bersiap untuk memisahkan kelas dan kantor memecat karyawan wanita.

“Putri saya yang berusia 10 tahun tidak pergi ke sekolah dalam dua minggu terakhir,” kata mantan pegawai pemerintah yang tidak ingin disebutkan namanya pada Independent.

“Mereka tidak diterima di sekolah saat ini. Kepala sekolah menyuruh kami untuk tidak mengirimnya.”

“Sekolah mengatakan mereka harus membuat pengaturan untuk membagi kelas antara perempuan dan laki-laki,” tambahnya.

Pria berusia 50 tahun itu mengatakan keluarganya meninggalkan rumah leluhur mereka di Kabul dan pindah ke daerah terpencil di mana mereka merasa lebih aman.

“Tidak ada wanita di jalanan sekarang. Bahkan jika Anda melihat siapa pun, mereka akan tertutup burqa,” katanya, sembari khawatir putrinya juga harus mengenakan burqa untuk bisa pergi ke sekolah.

Para mahasiswa perempuan juga menyatakan hal senada.

“Selama bertahun-tahun di Kabul, saya bisa hidup tanpa burqa. Tapi sekarang saya sudah membeli satu. Lebih baik bersiap,” kata seorang mahasiswa kedokteran berusia 23 tahun, yang tidak jelas tentang masa depan profesional dan pribadinya.

“Kami semua hanya menunggu untuk mengetahui apa aturan barunya. Tetapi pada titik ini, semua orang berada dalam kegelapan,” tambahnya.

Begitu pula warga perempuan lain, yang juga bersedih.

“Saya sudah menangis sejak tadi pagi. Adik saya pergi keluar dan membelikan burqa, dan saya membakar celana jinsku hari ini."

"Saya menangis dan membakar semuanya, saya membakar harapan saya dengan mereka. Tidak ada yang akan membuatku bahagia lagi. Saya hanya menunggu kematian saya, saya tidak menginginkan kehidupan ini lagi,” kata Arifa Ahmadi, seorang warga setempat, pada Guardian.

Ahmadi juga kehilangan pekerjaan yang dia ikuti beberapa minggu lalu setelah bertahun-tahun bekerja keras.

“Saya mencoba banyak untuk mendapatkan pekerjaan di kantor bea cukai di Farah dan saya mendapatkannya. Saya merayakannya dengan teman-teman saya. Saya mengundang mereka ke rumah saya. Kami sangat senang,” kata Ahmadi.

“Tapi saya kehilangannya hanya setelah tiga minggu. Banyak wanita diminta oleh Taliban untuk meninggalkan kantor. Saat saya melihat situasinya, saya bahkan tidak mencoba untuk kembali,” tambahnya.

Seorang mantan pegawai wanita juga mengaku kehilangan kebebasan kami dan juga sedikit rasa aman yang dirasakannya di bawah pemerintahan Ashraf Ghani, sebelum pemerintahan Taliban.

"Sebagai seorang wanita Afghanistan, saya hanya bisa merasakan ketidakamanan, kehancuran dan keputusasaan. Tidak ada harapan untuk hari yang lebih baik,” katanya pada This Week In Asia.

https://www.kompas.com/global/read/2021/09/02/151717070/kisah-hari-hari-pertama-kehidupan-di-bawah-pemerintahan-taliban

Terkini Lainnya

Dilanda Perang Saudara, Warga Sudan Kini Terancam Bencana Kelaparan

Dilanda Perang Saudara, Warga Sudan Kini Terancam Bencana Kelaparan

Internasional
Rangkuman Hari ke-799 Serangan Rusia ke Ukraina: Gempuran Rudal Rusia di 3 Wilayah | Rusia Disebut Pakai Senjata Kimia Kloropirin

Rangkuman Hari ke-799 Serangan Rusia ke Ukraina: Gempuran Rudal Rusia di 3 Wilayah | Rusia Disebut Pakai Senjata Kimia Kloropirin

Global
Biaya Rekonstruksi Gaza Pascaperang Bisa Mencapai Rp 803 Triliun, Terparah Sejak 1945

Biaya Rekonstruksi Gaza Pascaperang Bisa Mencapai Rp 803 Triliun, Terparah Sejak 1945

Global
Paus Fransiskus Teladan bagi Semua Umat dan Iman

Paus Fransiskus Teladan bagi Semua Umat dan Iman

Global
Rusia Dilaporkan Kirimkan Bahan Bakar ke Korea Utara Melebihi Batasan PBB

Rusia Dilaporkan Kirimkan Bahan Bakar ke Korea Utara Melebihi Batasan PBB

Global
Turkiye Hentikan Semua Ekspor dan Impor dengan Israel

Turkiye Hentikan Semua Ekspor dan Impor dengan Israel

Global
Lebih dari 2.000 Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Ditangkap di Kampus-kampus AS

Lebih dari 2.000 Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Ditangkap di Kampus-kampus AS

Global
Pelapor Kasus Pelanggaran Boeing 737 Meninggal Mendadak

Pelapor Kasus Pelanggaran Boeing 737 Meninggal Mendadak

Global
[POPULER GLOBAL] Ratusan Ribu Ikan di Vietnam Mati Kekurangan Air | Hamas Minta Gencatan Senjata Permanen

[POPULER GLOBAL] Ratusan Ribu Ikan di Vietnam Mati Kekurangan Air | Hamas Minta Gencatan Senjata Permanen

Global
Polisi Tangkapi Para Demonstran Pro-Palestina di UCLA

Polisi Tangkapi Para Demonstran Pro-Palestina di UCLA

Global
Gelombang Panas Akibatkan Kematian Massal Ikan di Vietnam

Gelombang Panas Akibatkan Kematian Massal Ikan di Vietnam

Global
Kolombia Putuskan Hubungan dengan Israel Terkait Genosida Palestina

Kolombia Putuskan Hubungan dengan Israel Terkait Genosida Palestina

Global
Tol di China Tenggara Ambruk, 48 Orang Tewas

Tol di China Tenggara Ambruk, 48 Orang Tewas

Global
Seperti Apa Kemampuan Fujian, Kapal Induk Baru China?

Seperti Apa Kemampuan Fujian, Kapal Induk Baru China?

Internasional
Pejabat AS Desak China dan Rusia: Bukan AI yang Pegang Kendali Nuklir, Tapi Manusia

Pejabat AS Desak China dan Rusia: Bukan AI yang Pegang Kendali Nuklir, Tapi Manusia

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke