Dia perlu memberi makan rakyatnya, dan pilihannya tidak baik.
Diktator rezim komunis turun temurun itu membuka pertemuan politik penting pada Selasa (15/6/2021), dan mengakui situasi suram yang dihadapi negaranya sekarang.
Pasokan makanan Korea Utara tipis dan "terjadi krisis," kata Kim, menurut kantor berita negara itu, KCNA.
Sektor pertanian masih belum pulih dari kerusakan akibat badai yang terjadi tahun lalu.
Mengganti pasokan pangan dalam negeri dengan impor kemungkinan akan sulit, karena sebagian besar perbatasan tetap ditutup akibat pembatasan Covid-19.
Di ibukota Pyongyang, harga beberapa barang pokok dilaporkan meroket.
Para ahli mengatakan harga beras dan bahan bakar relatif stabil, tetapi harga bahan pokok impor seperti gula, minyak kedelai, dan tepung terigu telah naik.
Biaya yang terkait dengan beberapa bahan pokok yang diproduksi secara lokal juga melonjak dalam beberapa bulan terakhir.
Harga kentang naik tiga kali lipat di pasar Tongil yang terkenal, tempat penduduk lokal dan orang asing dapat berbelanja, kata penduduk Pyongyang melansir CNN pada Jumat (18/6/2021).
Warga juga mengungkapkan bahwa barang-barang non pokok juga terdampak.
Sebungkus kecil teh hitam dapat dijual dengan harga sekitar 70 dollar AS (Rp 1 juta). Sedangkan harga kopi sebungkus dapat dijual lebih dari 100 dollar AS (Rp 1,4 juta).
Kim tidak mengungkapkan skala krisis yang terjadi.
Tetapi Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) baru-baru ini memperkirakan Korea Utara kekurangan sekitar 860.000 ton makanan. Jumlah itu setara dengan lebih dari dua bulan pasokan nasional.
Situasinya cukup serius pada April bagi Kim, sehingga dia mendesak warga Korea Utara untuk melakukan "pawai penderitaan" lainnya.
Istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada kelaparan yang menghancurkan di Korea Utara pada 1990-an, yang menewaskan ratusan ribu orang.
Pengakuan bahwa ekonomi negara yang direncanakan secara terpusat, bahkan tidak dapat memberi makan rakyatnya, mungkin tampak janggal.
Apa lagi di Korea Utara, Kim dan keluarganya dipandang dan digambarkan dalam propaganda sebagai orang yang sempurna dan hampir seperti Tuhan.
Namun, tidak seperti ayah dan pendahulunya, Kim tidak takut mengakui kesalahan atau kegagalan, atau bahkan menangis di depan rakyatnya.
Kim telah membentuk citra domestiknya sebagai seorang pria dari rakyat.
Pemimpin diktator ini terus-menerus bertemu dengan publik, dan berdedikasi untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari salah satu negara paling miskin di planet ini.
Tujuannya yang dinyatakan sejak mengambil alih kekuasaan pada 2011 adalah untuk meningkatkan kehidupan sebagian besar warga Korea Utara.
Kim secara drastis mengubah ekonomi terencana Korea Utara, yang tidak efisien. Dia membebaskan hampir 120.000 tahanan politik yang diyakini ditahan di kamp kerja paksa.
Pemimpin berusia 37 tahun ini, juga menarik mundur program senjata nuklirnya.
Langkah-langkah yang tidak biasa dari pemimpin Korea Utara sebelumnya itu membuat para ahli percaya, Pyongyang akan berjuang untuk mencapai tujuan Kim.
Hubungan dengan Washington dan negosiasi keringanan sanksi tampaknya menjadi perhatian yang jauh, setidaknya untuk saat ini.
Kim tidak menyebutkan pembicaraan dengan Amerika Serikat (AS) hingga Kamis (17/6/2021), hari ketiga pertemuan politik penting minggu ini dan agenda keempat.
Menurut media pemerintah, Kim dilaporkan menganalisis kebijakan Korea Utara Presiden AS Joe Biden, dan sekarang percaya Pyongyang perlu "bersiap untuk dialog dan konfrontasi."
Meski sikap Kim terhadap AS tidak terlalu bermusuhan, dia juga tidak terlalu meyakinkan. Serangkaian pernyataan provokatif yang dirilis oleh KCNA bulan lalu.
Salah satu pernyataan memperingatkan akan "krisis di luar kendali." Kim juga menyebut AS sebagai musuh terbesar Korea Utara pada Januari.
Faktanya, pernyataan itu dapat membuka pintu untuk pembicaraan dengan Washington, yang usahanya untuk menjangkau Pyongyang awal tahun ini tidak membuahkan hasil.
Setelah kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan pada pertemuan puncak mantan Presiden Donald Trump dengan Kim di Hanoi pada 2019, propaganda Korea Utara berulang kali mencatat bahwa negara itu tidak tertarik pada lebih banyak pembicaraan.
Itu kecuali Washington mengubah apa yang disebutnya "kebijakan bermusuhan" terhadap Pyongyang.
Pemerintahan AS Joe Biden telah memperjelas bahwa Korea Utara, program nuklirnya, dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia skala besar di negara itu merupakan bagian penting dari agenda kebijakan luar negerinya.
Gedung Putih menyelesaikan tinjauan kebijakan selama berbulan-bulan pada akhir April. Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, sekutu AS yang berkepentingan dengan masa depan Korea Utara, adalah dua pemimpin pertama yang mengunjungi Biden di AS.
Sung Kim, perwakilan khusus AS yang baru untuk kebijakan Korea Utara, sedang melakukan perjalanan ke Seoul pada Sabtu (19/6/2021) untuk berbicara dengan rekan-rekannya dari Korea Selatan dan Jepang.
Gedung Putih di bawah Biden mengatakan pihaknya berencana mengejar "pendekatan praktis yang terkalibrasi", yang berbeda dari strategi oleh pemerintahan Trump dan Obama.
Korea Utara tetap menjadi masalah kebijakan luar negeri yang sama yang telah membingungkan para pendahulu Biden baru-baru ini.
Dan seperti Kim, Biden bisa dibilang memiliki masalah yang lebih mendesak saat ini. Agenda legislatif Presiden Biden tampaknya mandek di Kongres yang menemui jalan buntu.
Dia juga mendorong lebih banyak orang AS untuk mendapatkan vaksin untuk mencegah kebangkitan Covid-19, terutama mengingat kekhawatiran tentang penyebaran varian baru yang lebih menular.
https://www.kompas.com/global/read/2021/06/20/063728370/krisis-pangan-korea-utara-menjalar-ke-bahan-non-pokok-harga-kopi-rp-1