Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Konflik Israel-Palestina (1): Gerakan Zionisme sampai Mandat Palestina

Hamas menyatakan, mereka meluncurkan ribuan roket sebagai balasan karena polisi Israel menyerang warga Palestina di Yerusalem.

IDF lalu merespons dengan mengerahkan jet tempur, dan membombardir sejumlah target yang dihuni faksi Palestina itu.

Tapi, berbicara soal konflik modern Israel-Palestina sebaiknya kita merunut hingga akhir abad ke-19 sebelum pecahnya Perang Dunia I.

Timur Tengah ketika itu merupakan wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki selama lebih dari 400 tahun.

Palestina, yang saat itu disebut Suriah Selatan, dipecah menjadi Provinsi Suriah, Beirut, dan Yerusalem oleh penguasa Ottoman menjelang akhir abad ke-19.

Waktu itu Palestina didominasi warga Arab Muslim dengan sedikit warga Kristen Arab, Druze, Sirkasian, dan Yahudi.

Meski hidup di bawah penjajahan bangsa Turki, kehidupan di kawasan ini bisa dikatakan jauh dari konflik dan kekerasan.

Sementara itu, jauh di Benua Biru, warga Yahudi yang banyak tersebar di Eropa Tengah dan Eropa Timur sudah sejak lama memimpikan "kembali ke Zion." Sederhananya, mereka berkeinginan kembali ke tanah yang dijanjikan Tuhan.

Imigrasi ke Palestina atau yang mereka sebut sebagai Tanah Israel sudah dilakukan. Tapi, prosesnya baru secara individual atau kelompok-kelompok kecil.

Sementara niat mendirikan sebuah negara Yahudi ketika itu belum tebersit.

Kondisinya berubah sekitar 1859-1880, ketika gelombang anti-Semit mulai melanda Eropa dan Rusia. Inilah yang memicu terbentuknya Gerakan Zionisme pada 1897.

Gerakan itu menginginkan pembentukan sebuah negara Yahudi sebagai suaka, untuk semua bangsa Yahudi di berbagai pelosok dunia.

Kelompok ini pernah mempertimbangkan beberapa lokasi di Afrika dan Amerika sebelum akhirnya memilih Palestina sebagai tujuan akhir.

Imigrasi Bangsa Yahudi

Telah disinggung sebelumnya, Palestina saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki.

Gerakan Zionisme yang didukung Dana Nasional Yahudi kemudian mendanai pembelian tanah di Palestina yang masih menjadi jajahan Ottoman Turki, untuk pembangunan permukiman para imigran Yahudi.

Gelombang imigrasi Yahudi setelah terbentuknya Organisasi Zionis Dunia kini menjadi lebih terorganisasi. Tujuannya semakin jelas pada masa mendatang.

Awalnya, imigrasi warga Yahudi dari Eropa ke Palestina tidak menimbulkan masalah di kawasan tersebut.

Namun, dengan semakin banyaknya imigran Yahudi yang datang, semakin banyak pula tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan permukiman.

Konflik dan sengketa perebutan tanah tak jarang terjadi di antara kedua bangsa ini.

Semakin meningkatnya jumlah imigran Yahudi di Palestina ternyata juga membuat Kekaisaran Ottoman khawatir.

Alasannya karena kebanyakan imigran Yahudi itu datang dari Rusia, yang merupakan musuh utama Ottoman dalam perebutan kekuasaan di kawasan Balkan.

Ottoman khawatir, para pendatang Yahudi dari Rusia ini akan menjadi perpanjangan tangan negeri asalnya untuk melemahkan kekuasaan Ottoman di Timur Tengah.

Jadi, kekerasan pertama yang menimpa para imigran Yahudi pada 1880-an di Palestina, khususnya yang dilakukan Ottoman Turki, adalah karena mereka dianggap sebagai bangsa Rusia atau Eropa, bukan karena mereka adalah Yahudi.

Sementara itu, langkah menentang imigran Yahudi pun dilakukan penduduk lokal, khususnya warga Arab.

Mereka mulai memprotes akuisisi tanah oleh pendatang Yahudi. Aksi protes ini akhirnya membuat Kekaisaran Turki Ottoman Turki menghentikan penjualan tanah kepada para imigran dan orang asing.

Meski demikian, pada 1914 jumlah warga Yahudi di Palestina sudah berjumlah 66.000 orang, separuhnya adalah pendatang baru.

Runtuhnya Ottoman

Kekaisaran Ottoman Turki memilih menjadi sekutu Jerman dalam Perang Dunia I (1914-1918).

Artinya, Ottoman Turki berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.

Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat, dan juga para pelopor pergerakan nasionalisme Arab.

Kedua kelompok ini melihat peluang mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah. Alhasil, keduanya memilih memihak Inggris.

Di sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan, baik oleh kelompok Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing.

Salah satunya adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.

Inti dari surat-menyurat yang terjadi 1914-1915 itu adalah bangsa Arab berjanji bersekutu dengan Inggris.

Sebagai timbal baliknya, pada saat perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab.

Namun, kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot 1917. Isinya mengatur rencana kedua negara membagi wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Ottoman Turki.

Gerilya diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour.

Balfour membuat pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour".

Deklarasi itu menyebut bahwa Inggris akan mengupayakan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi. Sebagai gantinya, kelompok Zionis harus menjamin tidak akan mengganggu hak keagamaan dan sipil warga non-Yahudi di Palestina.

Deklarasi ini pada akhirnya dianggap sebagai batu penjuru terbentuknya negara Yahudi atau Israel saat ini.

Mandat Palestina

Deklarasi Balfour ini kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai Sevres pada 10 Agustus 1920, antara Ottoman Turki dan sekutu di pengujung Perang Dunia I.

Perjanjian ini mengatur pembagian wilayah milik Kekaisaran Ottoman Turki, sekaligus menandai keruntuhan kekaisaran itu.

Pembagian ini meliputi wilayah Mandat Perancis, seperti Suriah dan Lebanon. Sementara Irak dan Palestina berada di bawah Mandat Inggris.

Inggris kemudian menempatkan Faisal, putra pemimpin Mekkah Hussein bin Ali, sebagai Raja Irak.

Sementara Palestina dibagi dua.

Sebelah timur menjadi Transjordania yang diberikan kepada Abdullah, putra lain Hussein bin Ali. Bagian barat yang tetap dinamai Palestina berada langsung di bawah kendali Inggris.

Selama masa Mandat Palestina ini, gelombang imigrasi Yahudi ke Palestina bertumbuh secara signifikan.

Selain karena mendapat perlindungan Inggris, imigrasi Yahudi ini didorong maraknya gerakan anti-Semit di Eropa. Antara lain di Ukraina, di mana setidaknya 100.000 orang Yahudi tewas dibunuh pada 1905.

Pada 1919-1926 sedikitnya 90.000 imigran Yahudi tiba di Palestina. Mereka langsung menempati komunitas-komunitas Yahudi yang didirikan di atas tanah yang telah dibeli secara legal oleh agen-agen Zionis dari para tuan tanah Arab.

Tak jarang pembelian tanah ini menggusur para petani penggarap Arab. Kondisi ini membuat warga Arab Palestina merasa disingkirkan.

Perasaan tersingkir ditambah keinginan menentukan nasib sendiri semakin menumbuhkan gerakan nasionalisme Palestina.

Warga Arab Palestina juga menentang gelombang imigrasi Yahudi ini, karena khawatir identitas nasional mereka akan terancam dengan semakin banyaknya warga Yahudi.

Akibatnya, sepanjang dekade 1920-an, hubungan antara kelompok Yahudi dan Arab di Palestina memanas dan bentrok kekerasan kedua kubu semakin sering terjadi. (bersambung)

Sumber: Kompas.com (Penulis: Ervan Hardoko | Editor: Ervan Hardoko)

https://www.kompas.com/global/read/2021/05/14/164727170/konflik-israel-palestina-1-gerakan-zionisme-sampai-mandat-palestina

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke