Atau semakin melumpuhkan Lebanon yang sudah dihajar oleh kemerosotan ekonomi dan pandemi Covid-19.
Ledakan di Beirut tahun lalu juga berdampak secara luas pada para korban yang selamat. Mereka yang kini tengah memperjuangkan kesehatan mental sejak peristiwa nahas itu.
Melansir Associated Press (AP), Senin (1/2/2021), inilah kisah para korban selamat dari salah satu peristiwa terburuk yang terjadi tahun lalu.
"Saya kehilangan segalanya"
Joana Dagher terbaring tak sadarkan diri. Dia mengalami pendarahan di bawah tumpukan puing bangunan apartemennya usai ledakan besar di pelabuhan Beirut.
Dagher berada di ambang kematian.
Wanita 33 tahun itu selamat karena keberanian suaminya yang mengeluarkannya dari puing-puing. Karena kebaikan orang yang tak dia kenal yang membawanya dengan mobil rusak.
Karena bantuan saudara perempuannya selama kekacauan di rumah sakit yang tengah kewalahan.
Namun sayangnya, Dagher tak ingat seluruhnya. Ibu dari 2 anak itu kehilangan ingatan selama 2 bulan karena trauma akibat ledakan. Termasuk memar dan lesi pada otak.
"Saya kehilangan kehidupan saya pada 4 Agustus," kata Dagher. "Saya kehilangan rumah saya, saya kehilangan ingatan, saya kehilangan 2 teman saya," imbuhnya yang mengacu pada tetangganya yang tewas akibat ledakan itu.
"Saya kehilangan kesehatan mental saya, saya kehilangan segalanya." Meski secara bertahap Dagher mampu mengembalikan ingatan, rasa sakit masih ada.
Dan meskipun terapi yang dia jalani cukup membantu, dia mengatakan bahwa dirinya "tidak lagi merasakan hal yang sama".
Dagher yang dulu dikenal sebagai sosok yang tenang dan mandiri menurut saudara perempuannya, Jihane.
Namun kini, Dagher mudah marah dan stres. Dia lebih menutup diri dan terkadang menjadi agresif. Semua itu, menurut pakar, adalah gangguan stres pascatrauma.
Ledakan di pelabuhan Beirut kala itu disebabkan oleh kebakaran yang menyulut hampir 3.000 ton amonium nitrat yang disimpan di gudang pelabuhan.
Menjadikannya salah satu ledakan non-nuklir terbesar yang pernah ada dengan kekuatan ledakan mampu mengacaukan kota, mengempaskan orang-orang melintasi ruangan dan melukai mereka dengan pecahan kaca.
Jendela dan pintu meledak berkilo-kilometer jauhnya dari titik ledakan.
Bahkan dengan negara yang telah mengalami begitu banyak perang dan pengeboman, belum pernah Lebanon menyaksikan puluhan ribu orang mengalami peristiwa setraumatis itu pada waktu bersamaan.
Semua itu terhimpun dalam tekanan dan krisis ekonomi yang sebelumnya sudah dirasakan warga Lebanon, juga pandemi Covid-19 dan ketidakberdayaan protes nasional melawan korupsi para pembesar negara tersebut.
Selalu mengira ledakan terjadi lagi
Penyintas lainnya, Najla Fadel yang juga berusia 33 tahun, secara ajaib tak mengalami luka fisik apa pun ketika ledakan menghancurkan kaca jendela rumahnya.
Meski begitu, pengasuh anaknya terluka parah dan Fadel kerap mengalami mimpi buruk.
Wanita itu mengaku berjuang dengan mimpi buruknya. Dia seringkali terbangun dengan degup jantung berdebar-debar, mengira ledakan itu terjadi lagi.
“Saya melompat jika ada suara apa pun dan mulai mencari tempat berlindung,” kata Fadel.
Yang terburuk, katanya, adalah badai petir dan suara pesawat tempur Israel yang secara teratur melanggar dengan terbang rendah di wilayah udara Lebanon.
"Beberapa malam lalu, ketika pesawat terbang di atas Beirut, saya tidur di koridor," kata Fadel. “Dengan cara ini saya sudah setengah jalan dari kamar anak-anak saya, saya bisa mengambil mereka lebih cepat dan lari untuk berjaga-jaga.”
Fadel sempat menemui terapis sementara banyak orang lainnya tidak mendapatkan bantuan.
“Ada banyak orang mengabaikan kesehatan mental mereka atau tidak tahu apa yang harus dilakukan,” kata Souraya Frem, presiden dan salah satu pendiri Cenacle De Lumiere, sebuah organisasi yang setelah ledakan terjadi mulai menawarkan dukungan kesehatan mental gratis di Beirut.
“Orang-orang bergumul dengan kemiskinan, bagaimana memenuhi kebutuhan sehingga mereka tidak memperhatikan kesehatan mental sebagai prioritas,” kata Frem.
https://www.kompas.com/global/read/2021/02/01/174436470/saya-kehilangan-kesehatan-mental-saya-kehilangan-segalanya