Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

PM Jepang Shinzo Abe Mundur, Bagaimana Nasib Abenomics Sejauh Ini?

Kebijakan yang ditempuhnya bernama "Abenomics".

Kini setelah pengunduran dirinya pada Jumat (28/8/2020), sejauh apa Abenomics diterapkan di Jepang? Apakah sudah ada yang dicapai?

Berikut rangkumannya yang disarikan dari AFP.

1. Pelonggaran moneter

Sekembalinya ke tampuk kekuasaan setelah mundur di periode pertama pada 2006-2007, Abe membuat kesepakatan dengan Bank of Japan, untuk menerapkan pelonggaran moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya pinjaman, memacu aktivitas bisnis dan konsumsi pribadi, serta mendorong inflasi hingga 2 persen untuk mengakhiri deflasi yang menghantui perekonomian "Negeri Sakura" sejak 1990-an.

Perekonomian Jepang secara bertahap kemudian pulih dan perlahan meningkat, tapi masih jauh dari harapan.

Negara itu bahkan mengalami deflasi pada 2015-2016, dan diperparah dengan krisis akibat wabah virus corona tahun ini.

2. Belanja pemerintah yang berlimpah

Di poin kedua Abenomics, upaya Bank of Japan dikawinkan dengan stimulus dalam bentuk belanja besar-besaran pemerintah.

Ratusan miliar dollar AS telah dihabiskan sejak 2013, terutama untuk modernisasi infrastruktur di seluruh negeri, beberapa di antaranya untuk Olimpiade Tokyo 2020.

Pengeluaran tersebut meningkatkan pendapatan dan investasi untuk bisnis, merangsang pasar keuangan dan real estate untuk membantu mendukung pertumbuhan negara selama beberapa tahun.

Akan tetapi ekonomi nasional masih saja beberapa kali tergelincir.

Produk Domestik Bruto (PDB) sempat mengalami kontraksi pada 2014-2015 sebelum pulih, dan Jepang jatuh ke jurang resesi lagi pada 2020 bahkan sebelum virus corona melanda.

Dengan banyaknya lansia yang lebih cenderung menabung daripada menghabiskan, tingkat konsumsi di Jepang tetap rendah.

Kemudian dengan virus corona yang menyebabkan lumpuhnya perekonomian dan memaksa penundaan Olimpiade serta penurunan jumlah turis, pemerintah mengeluarkan stimulus baru yang lebih besar.

Akan tetapi potensi pertumbuhan ekonomi Jepang menurun karena "pemerintah tidak memiliki visi pemulihan yang jelas dan inisiatif digital," kata Sayuri Shirai profesor di Fakultas Manajemen Kebijakan Universitas Keio dan mantan anggota dewan kebijakan Bank of Japan.

3. Reformasi struktural

Kedua poin di atas tak bisa bekerja tanpa poin ketiga Abenomics yakni reformasi struktural.

Sasaran utamanya adalah pasar tenaga kerja Jepang, yang dicirikan oleh model pasca-perang di mana para pekerja bisa mendapat pekerjaan seumur hidup dan keuntungan ekstensif dalam pekerjaan, di salah satu perusahaan besar negara.

Namun upaya membalikkan model kalsifikasi dan mempromosikan fleksibilitas lebih besar bergerak terlalu lambat, kata para ahli.

"Awalnya kami mengira pemerintah mengulur waktu dengan pelonggaran moneter dan kebijakan fiskal, untuk mempersiapkan reformasi struktural yang menyakitkan," kata Masamicho Adachi ekonom UBS.

"Namun kali ini tidak digunakan secara bijak untuk reformasi struktural," katanya kepada AFP.

Ada beberapa titik terang termasuk peningkatan jumlah wanita dan orang tua di tempat kerja, dan beberapa pelonggaran kebijakan imigrasi di Jepang, yang dapat membantu parahnya kekurangan tenaga kerja.

Akan tetapi banyak reformasi "tidak cukup berani" untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, ujar Shirai.

Pandemi, tambahnya, menguak "tidak hanya kerentanan sektor korporasi Jepang tetapi juga layanan publik elektronik yang tidak memadai" dan lambatnya implementasi kebijakan pemerintah.

https://www.kompas.com/global/read/2020/08/28/171206970/pm-jepang-shinzo-abe-mundur-bagaimana-nasib-abenomics-sejauh-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke