NAGASAKI, KOMPAS.com - Kota Nagasaki, Jepang pada Minggu (9/8/2020) memperingati 75 tahun penjatuhan bom atom yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS).
Upacara peringatan tersebut dihadiri oleh wali kota Nagasaki dan jajaran pemimpin Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagaimana dilansir dari AFP, Minggu.
Kota Nagasaki diratakan oleh bom atom selang tiga hari setelah Hiroshima yang sebelumnya juga diluluhlantakkan oleh bom atom.
Para penyintas, kerabat penyintas, dan segelintir pejabat asing menghadiri upacara peringatan di Nagasaki dan mereka menyerukan perdamaian dunia.
Para peserta memanjatkan doa dengan khidmat pukul 11.02 waktu setempat. Pukul 11.02 merupakan saat bom atom dijatuhkan ke kota itu.
Wali Kota Nagasaki Tomihisa Taue dalam pidatonya mengatakan bahwa kengerian akibat senjata nuklir perlu disebarkan secara luas kepada seluruh dunia.
Dia menambahkan para penyintas tak henti-hentinya menceritakan pengalaman mengerikan yang mereka alami.
Taue menganalogikan senjata nuklir tersebut seperti halnya virus corona. Orang tidak benar-benar tahu bahayanya sampai itu menyebar luas dan menimbulkan kerusakan yang masif.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam pesan yang dibacakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal PBB Izumi Nakamitsu, memperingatkan bahwa penggunaan senjata nuklir secara sengaja maupun secara tidak sengaja atau salah perhitungan sangat berbahaya.
"Kemajuan bersejarah dalam pelucutan senjata nuklir berada dalam bahaya. Tren yang mengkhawatirkan ini harus dibalik," kata Nakamitsu.
Dunia Tanpa Senjata Nuklir
Jumlah peserta dalam upacara peringatan tahun ini berkurang menjadi sekitar sepersepuluh dari tahun-tahun sebelumnya.
Itu disebabkan karena pandemi virus corona yang semakin merebak di seluruh dunia. Namun prosesi upacara peringatan disiarkan secara langsung melalui online dalam bahasa Jepang dan Inggris.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperbarui janjinya bahwa Jepang akan memimpin upaya komunitas internasional menuju realisasi dunia bebas senjata nuklir.
Salah satu penyintas bom atom, Terumi Tanaka (88), berusia 13 tahun ketika bom menghantam Nagasaki.
Dia berada di rumahnya yang terletak lereng bukit dan melihat semuanya menjadi putih ketika bom atom itu dijatuhkan.
"Saya melihat banyak orang dengan luka bakar dan luka parah dievakuasi. Sebuah sekolah menjadi tempat penampungan," kata Tanaka kepada AFP baru-baru ini.
Dia menambahkan dua bibinya meninggal akibat serangan biadab tersebut.
“Para penyintas bom atom percaya bahwa dunia harus meninggalkan senjata nuklir karena kami tidak ingin generasi muda mengalami hal yang sama,” tambah Tanaka.
Penyintas lain, Shigemi Fukahori (89) mengatakan kaum muda harus meneruskan tongkat estafet gerakan penghapusan senjata nuklir.
"Saya bertekad untuk terus memohon (kepada dunia) bahwa Nagasaki harus menjadi kota terakhir yang terkena bom atom," kata Fukahori.
AS menjatuhkan bom atom pertama di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, menewaskan sekitar 140.000 orang. Beberapa orang meninggal beberapa hari setelah ledakan karena terpapar radiasi.
Tiga hari kemudian, tepatnya pada 9 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom atom lagi di kota pelabuhan Nagasaki dan menewaskan 74.000 orang.
Akhirnya, Jepang mengumumkan menyerah dalam Perang Dunia II pada 15 Agustus 1945.
AS tidak pernah menyetujui tuntutan Jepang untuk meminta maaf atas hilangnya nyawa tak berdosa dalam dua pengeboman tersebut.
Tahun lalu, Paus Fransiskus bertemu dengan beberapa penyintas bom atom dalam kunjungan ke Hiroshima dan Nagasaki.
Dia memberikan penghormatan kepada korban bom atom atas “kengerian yang tak terkatakan” yang diderita para korban.
Pada 2016, Barack Obama menjadi presiden AS pertama yang mengunjungi Hiroshima.
Dia tidak meminta maaf atas serangan itu tetapi merangkul korban selamat dan menyerukan dunia yang bebas dari senjata nuklir.
https://www.kompas.com/global/read/2020/08/09/165926870/75-tahun-peringatan-bom-atom-hiroshima-dan-nagasaki-as-belum-mau-minta