Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Martinus Ariya Seta
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Hobi membaca dan jalan-jalan. Saat ini sedang menempuh studi doktoral dalam bidang Pendidikan Agama di Julius Maximilians Universität Würzburg

Honoris Causa dan Laboris Causa untuk Romo Prier

Kompas.com - 30/05/2023, 10:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENCINTAI Indonesia memiliki bentuk pengejawantahan yang bersifat partikular. Mencintai dan melestarikan musik-musik tradisional, misalnya, menjadi salah satu bentuk partikularitas dari semangat mencintai Indonesia.

Siapakah sosok yang mencintai musik-musik tradisional di Indonesia? Salah satunya adalah Karl Edmund Prier SJ yang sering disapa dengan sebutan Romo Prier. Romo Prier merupakan rohaniwan Jesuit keturunan Jerman.

Meskipun berusia 80 tahun lebih, Romo Prier masih aktif berkerja. Setiap hari, dia naik vespa dari rumahnya menuju kantornya di Kota Baru Yogyakarta. Umur yang panjang adalah sebuah anugerah.

Baca juga: Romo Prier, Korban Penyerangan Gereja Santa Lidwina Memaafkan Pelaku

Pepatah Jerman mengatakan, “Pensiun hanyalah terbebas dari pekerjaan, tetapi tidak dari kehidupan”. Mengurusi kehidupan adalah pekerjaan seorang rohaniwan. Selama masih diberi tenaga dan kesehatan oleh Tuhan, seorang rohaniwan akan terus berkarya meskipun sudah berusia 70-an atau 80-an tahun.

Doktor Honoris Causa untuk Musik Rohani dengan Sentuhan Etnik

Belum lama ini, Insititut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memberikan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa kepada Romo Prier. Gelar ini diberikan atas jasa Romo Prier dalam pendidikan musik serta kiprahnya dalam mengembangkan musik-musik daerah di Indonesia.

Selama puluhan tahun, Romo Prier berkolaborasi dengan banyak musisi di berbagai tempat di Indonesia untuk menciptakan lagu-lagu rohani dengan sentuhan etnik. Kiprah Romo Prier dengan kepeduliannya terhadap musik daerah adalah sebuah tamparan autokritik dan reflektif bagi kita semua.

Ini bukan hanya persoalan partikularitas dalam bidang seni. Dunia Barat sebagai kiblat dalam banyak hal adalah salah satu persoalan hegemoni di Indonesia. Karena terlalu over mengagumi dunia Barat, kita menjadi tidak memiliki kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa.

Sosok Romo Prier hadir sebagai orang asing yang justru mengagumi musik-musik daerah di Indonesia. Ada orang asing yang justru memedulikan, melestarikan, dan mengembangkan musik-musik daerah di Indonesia.

Tahun 1980-an, Romo Prier memutuskan untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Cita-cita awal Prier muda adalah menjadi seorang misionaris. Prier muda masuk Serikat Yesus di Jerman dengan harapan menjadi seorang misonaris di Eskimo. Akan tetapi, rencana Tuhan berbeda dengan kehendak manusia. Indonesia menjadi tempat berkarya Prier muda.

Tahun 1964, Prier muda datang ke Indonesia. Pada tahun 1969, dia menerima tahbisan imam dalam Gereja Katolik.

Kecintaannya terhadap musik-musik tradisional Indonesia adalah salah satu alasan di balik keputusannya untuk memilih menjadi WNI.

Romo Prier hadir saat Gereja Katolik mulai membuka diri terhadap inkulturasi dengan kebudayan lokal. Konsili Vatikan II (1962-1965) menjadi tonggak sejarah keterbukaan Gereja Katolik terhadap kebudayaan lokal.

"Umat sangat kesulitan menyanyikan lagu Gregorian… Mereka lebih cocok menyanyi dengan gaya musik daerah mereka sendiri," kata Romo Prier.

Inilah yang menjadi kepedulian Romo Prier. Ini sebuah tesis yang cukup berani. “Kita tidak harus menyanyi seperti orang Barat”. Dalam ranah yang lebih luas ini adalah ungkapan “Kita tidak harus menjadi seperti orang Barat”.

Tahun 1971, Romo Prier bersama dengan Paul Widyawan mendirikan Pusat Musik Liturgi untuk menindaklanjuti kepeduliannya tersebut. Ini adalah pekerjaan sunyi tanpa hingar-bingar pemberitaan. Kesetiaan dan konsistensi adalah teman terbaik dalam kesunyian.

Romo Prier mencintai musik-musik daerah di Indonesia dan mengembangkannya menjadi senandung doa untuk Tuhan Yang Maha Esa selama puluhan tahun. Ini adalah sebuah labor alias kerja keras.

Menjadi Ahli Musik Etnologi Indonesia

Terkadang orang memelesetkan honoris causa sebagai gelar cuma-cuma. Kata honoris yang berakar kata dari honor dapat diartikan kehormatan dan juga dapat diartikan cuma-cuma. Dari pelesetan ini muncul istilah laboris causa sebagai antitesis honoris causa.

Akar kata dari laboris adalah labor yang berarti kerja keras. Untuk mendapakan gelar doktor, seorang mahasiswa harus banting tulang melakukan penelitian dan menghasilkan tulisan ilmiah baik dalam bentuk jurnal atau tulisan disertasi.

Romo Prier menjadi tenaga pengajar di Akademi Musik Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta selama puluhan tahun. Romo Prier merupakan salah satu ahli musik etnologi Indonesia. Bukan hanya seorang ahli, tetapi dia juga sebagai seorang komposer, pemerhati, dan pelestari lagu daerah.

Jejak laboris causa Romo Prier dalam bidang musik, khususnya musik daerah tidak perlu diragukan lagi. Kecintaan Romo Prier terhadap Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Harta emas di negeri sendiri justru digali dan ditemukan oleh orang lain.

Sosok Romo Prier adalah teladan sekaligus tamparan bagi kita warga negara Indonesia. Dia justru memedulikan dan menggali harta karun di Indonesia.

Gagasan Dekolonialisasi

Penulis sempat berbicara dengan Romo Prier dalam sebuah wawancara pribadi. Dia adalah salah satu korban dari tragedi Gereja Bedog pada 11 Februari 2018. Kepalanya dibacok dan terluka ketika sedang memimpin perayaan Ekaristi.

Dengan nada tegas, Romo Prier mengatakan pelaku adalah korban dari ideologi yang keliru. Idelogi ini muncul akibat ketidakadilan dunia Barat terhadap negara-negara dunia ketiga, khususnya negara-negara Islam.

Baca juga: Langka, Lima Alat Musik Etnik Nusantara Berkolaborasi di Rangkasbitung, bak Alunan Musik dari Surga...

Perbincangan pun melesat jauh sampai pada persoalan geopolitik dunia. Tidak berlebihan mengatakan bahwa Romo Prier berbicara tentang sebuah diskursus dekolonialisasi korban.

Memahami persoalan bukan hanya dalam level individu dan interpersonal, tetapi dalam kerangka yang lebih besar. Dengan cara seperti ini, seseorang terbebas dari rasa dendam dan terbebas dari kebencian terhadap kelompok lain (outgroup).

Kekeliruan orang lain dapat memicu sebuah perasaan superioritas baik dalam level individu atau kelompok. Keadilan yang dibumbui perasaan superioritas hanya akan berujung pada penyingkiran orang atau pihak lain dan melanggengkan sebuah kebencian.

Keadilan harus dibangun bukan dengan menyingkirkan, tetapi dengan merangkul, termasuk pelaku. Keadilan bukan sekedar mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Keadilan yang sebenarnya adalah memperbaiki relasi.

Romo Prier menolak pemberian ganti rugi dari pemerintah dengan alasan pribadi. “Saya sudah memaafkan pelaku.“ Romo Prier berharap dapat berbicara empat mata dengan sang pelaku. Ini adalah salah satu bentuk pengejawantahan prinsip keadilan reparatif.

Sayang keinginan ini tidak dapat terwujud karena pelaku telah terlebih dahulu meninggal di penjara. Dekolonialisasi adalah sebuah pekerjaan rumah bangsa Indonesia. Derasnya arus globalisasi bisa jadi semakin memperkuat hegemoni Barat.

Jangan-jangan globalisasi menjadi jalan ekspansi hegemoni dunia Barat. Jangan-jangan globalisasi adalah penyeragaman dengan standard Barat. Ini bukan pertanyaan xenofobia, tetapi pertanyaan kritis.

Tidak salah dan tidak berlebihan jika sosok Romo Prier adalah salah satu sosok yang merepresentasikan gagasan dekolonialisasi. Kiprahnya dalam menekuni dan mengembangkan musik daerah adalah sebuah pembeda di tengah derasnya arus globalisasi.

Banyak orang belajar dari orang Barat agar menjadi seperti orang Barat. Sosok Romo Prier justru memberikan teladan sebaliknya. Kita dapat meneladani dia untuk menemukan jati diri kita sendiri sebagai bangsa Indonesia.

Nasionalisme membutuhkan sosok-sosok pembeda untuk membuka pintu autokritik. Merasa malu adalah sikap gentleman sekaligus langkah awal dari sebuah autokritik. Mengapa justru orang berdarah asing yang peduli dengan musik daerah Indonesia?

Pertanyaan ini adalah perpaduan antara kekaguman dan sekaligus tamparan. Hal yang tampak di depan umum adalah honoris causa. Sedangkan laboris causa di dalam kesunyian selama puluhan tahun tidak tersorot dalam pemberitaan.

Anda layak mendapatkan gelar honoris causa karena telah menunjukkan sebuah kerja keras dan konsistensi selama puluhan tahun di dalam mengembangkan musik-musik daerah. Honoris causa adalah buah dan bonus dari laboris causa. Ini adalah gelar kehormatan dan bukan gelar cuma-cuma.

Proficiat untuk Dr HC Karl Edmund Prier SJ dan Gottes Segen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com