Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggun Gunawan
Dosen

Anggun Gunawan merupakan dosen tetap di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan dosen part-time di Sekolah Vokasi Universitas Indonesia Depok. Ia menyelesaikan S2 bidang Publishing Media dari Oxford Brookes University UK tahun 2020 dan S1 bidang Ilmu Filsafat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 2014, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar "Translation Copyright Transanction" di Jakarta dan Frankfurt Jerman dari Goethe Institut Indonesia.

Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi Vokasi: Transformasi Menghapus Status Kelas Dua

Kompas.com - 11/04/2023, 11:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARI-hari ini sampai September 2023 nanti, anak-anak muda lulusan SMA/SMK/MA akan sibuk bersaing mengamankan satu kursi di perguruan tinggi. Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi sudah diumumkan pada 28 Maret 2023.

Sekarang tinggal Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBP) dan Jalur Mandiri untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Sementara untuk perguruan tinggi swasta memiliki mekanisme dan jadwal seleksi tersendiri.

Apapun bentuk jalur masuk ke perguruan tinggi negeri maupun swasta, satu hal yang pasti adalah prodi-prodi berbasis vokasional berbentuk D3 atau D4 masih belum menjadi prioritas bagi sebagian besar calon mahasiswa.

Program Sarjana Satu (S1) tetap dianggap lebih tinggi levelnya, baik oleh orangtua maupun siswa sekolah menengah sendiri.

Maka tak salah kemudian, ketika ada calon mahasiswa yang sudah mengamankan kursi di program D3 atau D4, ia masih mencari peluang agar bisa diterima di program Sarjana (S1).

Atau, setelah seorang tamatan SMA/SMK/MA gagal lolos di berbagai tes masuk S1, barulah ia melirik program D3 atau D4.

Daya pesona prodi-prodi vokasi sebenarnya ikut terangkat ketika banyak kampus besar dan mentereng di Indonesia membuka program Vokasi (D3 atau D4).

Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, memiliki “Fakultas” sendiri sebagai rumah bagi program-program vokasi yang dulunya tersebar di berbagai fakultas. Rumah besar vokasi tersebut diberi nama “Sekolah Vokasi”.

Namun kalau dicermati lebih jauh, keberadaan Sekolah Vokasi di UGM dan UI sebenarnya juga jadi pilihan kedua setelah gagal diterima di program Sarjana.

Ada pula semacam stigma bahwa prodi-prodi vokasi yang didirikan oleh kampus-kampus terbaik di Indonesia tersebut tak lebih dari strategi mereka untuk mendapatkan tambahan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) lewat pembukaan kursi yang besar di program vokasi.

Kelemahan dari program Sarjana adalah orientasi pembelajaran yang sangat kuat pada aspek teoritis dan penguasaan konsep.

Seringkali S1 ditempatkan sebagai masa-masa untuk membangun pola pikir dan berkenalan dengan teori-teori utama yang ada pada bidang keilmuan.

Makanya, pola pembelajaran yang lazim di S1 adalah membaca buku dan jurnal kemudian presentasi terkait pemahaman dari bacaan yang telah dikonsumsi tersebut.

Dengan profil lulusan yang sangat kuat aspek teoritisnya, maka perusahaan/institusi kerja (workplace) harus melakukan proses rekruitmen berlapis untuk mendapatkan kandidat karyawan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Setelah mendapatkan “anak-anak muda pilihan” bergelar sarjana, perusahaan/institusi memberikan semacam training bertingkat kepada para calon karyawannya agar mereka beradaptasi dengan pola dan budaya kerja yang sudah terbentuk di lembaga mereka.

Tentu saja proses seleksi berlapis dan pelatihan berjenjang membuat perusahaan harus menyiapkan dana tambahan yang tak sedikit untuk mendapatkan karyawan yang “siap kerja”.

Perusahaan dan institusi membutuhkan pekerja dengan skill teknis mumpuni. Sering kali pelamar bergelar Sarjana hanya sebagian kecil yang memenuhi kriteria tersebut. Hingga muncul fenomena “Sarjana Kertas” dan “Sarjana Pengangguran”.

Pendidikan Vokasi menerapkan sistem kurikulum berkebalikan dengan Pendidikan Tinggi Akademik (PTA) lewat pemuatan pembelajaran praktikal sebanyak 70 persen dan teoritis 30 persen.

Ini tentu memberikan ruang yang lebih besar kepada para lulusan vokasi untuk lebih kompetetif dan memiliki kesiapan kerja yang lebih tinggi dibandingkan lulusan program sarjana umum.

Dalam kata lain, dengan profil lulusan yang “siap kerja”, sebenarnya alumni program Vokasi lebih disenangi oleh dunia kerja dan dunia industri.

Namun realita di mana prodi berbasis vokasi masih berstatus prodi kelas 2 di Indonesia tentu meninggalkan tanda tanya besar.

Gebrakan besar dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Vokasi Kemendikbud sebagai bagian dari arus radikal “Merdeka Belajar” yang digaungkan oleh Menteri Nadiem Makarim.

Berbagai program khas vokasi kemudian diintrodusir seperti Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), Praktisi Mengajar dan Vocational School Graduate Academy (VSGA) sebagai dukungan Kementerian Komunikasi dan Informasi terhadap lahirnya lulusan vokasi yang memiliki skill dan kompetensi keahlian mumpuni. Semuanya bermuara pada pemantapan industrial based curriculum.

Untuk dosennya disediakan program seperti Sertifikasi Kompetensi, Magang Bersertifikat, dan Matching Fund.

Saya mencermati masih langgengnya status kelas 2 yang melekat pada program vokasi ditimbulkan oleh beberapa hal.

Pertama, kampus-kampus murni vokasi (Politeknik) dan prodi-prodi vokasi masih belum mampu menampilkan dosen-dosen yang dikenal luas oleh publik.

Berbeda dengan kampus-kampus akademik terutama yang menduduki ranking tinggi di berbagai lembaga perankingan nasional maupun internasional. Para dosennya seringkali tampil di media baik cetak maupun elektronik dalam statusnya sebagai pejabat tinggi negara, tim ahli pemerintah, pengamat independen ataupun expert di bidang tertentu.

Frekuensi mereka tampil di media membuat masyarakat lebih cepat mengenal mereka termasuk juga kampusnya.

Di sinilah kemudian para dosen berlatar-belakang program studi atau perguruan tinggi vokasi perlu lebih giat untuk di-captured oleh media dan menyuarakan pemikirannya lewat berbagai channel publikasi media massa nasional.

Faktor pertama di atas sebenarnya juga didorong oleh situasi rekruitmen dosen-dosen baru di prodi vokasi dan terutama sekali di perguruan tinggi khusus vokasi (Politeknik) yang baru berhasil menarik minat dosen-dosen kelas dua juga.

Alumni-alumni S2 dan S3 terbaik dari kampus-kampus unggulan Indonesia dan dunia lebih cenderung melamar di perguruan tinggi akademik dibanding perguruan tinggi vokasi (PTV).

Sehingga pengajar di PTV sebagian besar bukanlah orang-orang terbaik di bidangnya. Sebagian besar adalah limpahan dari yang gagal menembus seleksi dosen perguruan tinggi akademik. Makanya sulit bagi PTV bersaing dengan perguruan tinggi akademik (PTA).

Pemerintah bisa melakukan pola-pola rekruitmen afirmatif untuk PTV dengan memberikan unsur reward dan jenjang karier yang lebih menjanjikan bagi dosen-dosen barunya.

Setiap tahun pemerintah lewat LPDP kebanjiran para lulusan keren dari luar negeri yang bisa dialokasikan secara khusus untuk peningkatan budaya akademik di PTV.

Meskipun PTV mengklaim menerapkan pembelajaran 70 persen praktik dan 30 persen teori, tapi dari sisi staf pengajar hampir seluruhnya berasal dari alumni-alumni S1, S2 dan S3 perguruan tinggi akademik. Mereka sebenarnya masih dalam taraf belajar dan coba-coba mengimplementasikan pola pengajaran ala vokasi.

Bawaan pola pikir akademik yang sangat kental seringkali membuat mereka menerapkan cara pengajaran yang sama saat mereka berkuliah di S1 dan S2 dulu.

Tentu saja ini malah mengaburkan ruh dari vokasi. Ujung-ujungnya akan melahirkan lulusan PTV, tapi dengan skill PTA.

Kondisi ini sebenarnya sudah disadari Kemendikbud. Program seperti Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) serta Praktisi Mengajar sedikit banyak telah menambal kondisi internal tak ideal yang terjadi di hampir semua PTV tersebut.

Saya sebagai dosen di sebuah Politeknik Negeri masih terbawa dengan iklim PTA karena S1 saya yang sangat teoritis (S1 Ilmu Filsafat UGM).

Pengalaman berkecimpung di dunia penerbitan selama 9 tahun dan ditambah 1 tahun kuliah S2 di kampus yang punya akar vokasional kuat (Oxford Brookes University yang sebelumnya adalah Oxford Polytechnic) telah membantu saya menerapkan pola pengajaran khas vokasi.

Namun sebagian besar kolega saya adalah para fresh graduate S2/S3 dari kampus yang tidak berbasis vokasional.

Untuk persoalan ini, diperlukan kebijakan studi lanjut yang jelas dari Direktorat Pendidikan Vokasi Kemendikbud dengan mengarahkan/mewajibkan para dosen di PTV melanjutkan studi S3 di applied/vocational universities.

Jangan biarkan para dosen PTV mengambil S3 sembarangan karena itu malah membuat warna vokasional di PTV semakin pudar. Sementara dari sisi pengembangan dan pendirian program S2 dan S3 Terapan menjadi mandeg.

Di tingkat global kita menyaksikan kesuksesan beberapa kampus vokasi tampil di deretan kampus-kampus terbaik dunia.

École Polytechnique Fédérale de Lausanne Swiss mampu menduduki peringkat 16 besar kampus terbaik dunia versi QS tahun 2023.

Selain itu, Institut Polytechnique de Paris berada di posisi 48, The Hong Kong Polytechnic University di peringkat 65 dan Politecnic di Milano menduduki tangga 139 dunia.

Bukanlah suatu kemustahilan apabila PTV di Indonesia diperhatikan dan ditransformasi dengan baik, maka kita akan menyaksikan nama-nama mereka akan tampil dalam deretan kampus terbaik dunia dan tak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan komunitas akademisi di Indonesia. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com