KOMPAS.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim meminta sekolah untuk menghapus tes baca, tulis, dan hitung (calistung) dari proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang SD.
Nadiem menyebutkan, miskonsepsi tentang calistung pada pendidikan anak usia dini masih sangat kuat di masyarakat.
"Bukan berarti calistung itu bukan topik yang penting untuk diajarkan di PAUD. Saya tidak mau ada salah pengertian di sini. Pengertiannya adalah ada miskonsepsi bahwa hanya calistung yang terpenting dan cara ngajarin calistungnya itu salah. Kenapa salah, karena ini menjadi suatu metode yang mengasosiasikan anak-anak PAUD kita, mengasosiasikan sekolah menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan," ujarnya dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-24: Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, Selasa (28/3/2023).
Baca juga: Ini Alasan Nadiem Hapus Tes Kemampuan Akademik di UTBK SBMPTN 2023
"Dan ini membuat saya sangat kesal bahwa tes calistung dijadikan kriteria untuk anak masuk SD," imbuh Nadiem.
Nadiem menegaskan bahwa pendidikan bagi anak PAUD bukan hanya mengedepankan kemampuan calistung, melainkan juga mengasah kemampuan peserta didik yang bersifat holistik mencakup kematangan emosi, kemandirian, hingga kemampuan berinteraksi.
"Ini menjadi hal yang tidak bisa lagi ditolerir dan kami mohon bantuan semua bapak ibu di dalam ruangan ini dan yang menonton Youtube untuk segera menghilangkan error besar ini seolah-olah SD di Indonesia tidak punya tanggung jawab sama sekali sama calistung dan menjadi tanggung jawab PAUD, ini mau saya hilangkan miskonsepsi ini. Dan satu hal yang paling menyedihkan adalah persepsi mengenai calistung adalah satu-satunya yang penting dalam pembelajaran," tegasnya.
Baca juga: Biaya Kuliah S1 Kedokteran UI, UGM, Unair, Undip, Unpad, dan Brawijaya
Nadiem menjelaskan, miskonsepsi bahwa calistung adalah satu-satunya yang penting dalam pembelajaran PAUD memberikan sejumlah dampak buruk pada anak, seperti anak mampu membaca tetapi tidak paham arti kata; anak jadi kurang terasah kemampuan dalam berkomunikasi; serta anak mampu melakukan penjumlahan hanya apabila menggunakan bilangan karena anak hafal, bukan paham.
"Konsekuensi yang paling menakutkan adalah anak-anak merasa adalah merasa belajar bahwa tidak menyenangkan dari umur kecil.
Ia menyebutkan, jika anak merasakan bahwa belajar bukan proses yang menyenangkan dari masa PAUD, akan sangat sulit memutar balik persepsi anak bahwa sekolah itu bisa menyenangkan, belajar itu menyenangkan, baca buku itu menyenangkan, dan matematika menyenangkan.
"Bisa sekali anak mengasosiasikan sekolah sebagai suatu beban yang tidak menyenangkan, yang dipaksa saja sama orangtua untuk dilakukan. Sepertinya kita semua di sini sangat familiar ya, sangat sering berinteraksi dengan anak-anak kecil yang interpretasinya mengenai sekolah adalah seperti itu," ungkapnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.