Salah satu peneliti organisasi tersebut, Elizabeth Seger mengatakan, meski kemungkinan misinformasi yang dihasilkan oleh AI dapat mempengaruhi opini publik sehingga mempengaruhi pemilu sangatlah kecil, tetapi dapat menimbulkan dampak buruk pada pemilu dan politik secara lebih luas di masa depan.
Dikutip dari Time, pada Juli 2023 Gedung Putih mendapatkan komitmen dari pengusaha AI terkemuka, termasuk Meta dan Microsoft untuk menerapkan watermark pada konten visual dan audio yang dihasilkan AI.
Perusahaan pengembang AI mulai mewajibkan watermark pada iklan politik.
Kendati demikian, pemberian watermark dan label yang diberikan para pengembang AI dinilai belum cukup untuk mencegah penyalahgunaan konten.
Pasalnya, pelaku penyebar hoaks dapat dengan mudah menghapus watermark atau mengolah konten agar masyarakat tidak mengetahui konteks aslinya.
Peneliti di Digital Democracy Lab di Universitas Zurich, Sacha Altay berpendapat bahwa peserta pemilu harus jujur jika mereka memanfaatkan AI untuk pembuatan konten kampanyenya.
"Pada akhirnya, saya pikir hal ini tergantung pada bagaimana politisi menggunakan ekosistem informasi untuk mendapatkan kekuasaan atau mendapatkan pengikut untuk mendapatkan suara, bahkan jika mereka berbohong dan menyebarkan informasi yang salah," kata Altay.