KOMPAS.com - Raksasa media sosial Meta mewajibkan label untuk iklan politik yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Kebijakan ini diluncurkan pada Rabu (8/11/2023) sehari setelah Microsoft menawarkan fitur untuk menandai konten yang dibuat dengan AI.
Dilansir Time, meskipun banyak kekhawatiran soal pengaruh deepfake dan misinformasi terhadap pemilu, para ahli menyampaikan sejauh ini bukti dampaknya terhadap pemilu masih terbatas.
Setiap pengiklan bertema politik, wajib memberi konteks pada kontennya yang dibuat dengan gambar atau atau video fotorealistik, atau audio yang terdengar realistis, yang dibuat atau diubah secara digital.
Meta mewajibkan pengiklan wajib memberi tahu pengguna hal berikut:
Apabila pengiklan kedapatan tidak melakukannya, Meta akan menolak iklan tersebut. Apabila kesalahan terjadi secara berulang, Meta akan memberikan sanksi terhadap pengiklan.
Sementara, konten yang kedapatan melanggar kebijakan akan dihapus.
Mitra pemeriksa fakta independen Meta juga secara rutin meninjau dan menilai misinformasi.
Sehingga, apabila sebuah konten dinilai sebagai “Altered” atau manipulasi, pemeriksa fakta akan mengungkap bahwa konten tersebut dibuat atau diedit dengan cara yang dapat menyesatkan orang, baik dengan AI maupun alat digital lainnya.
AI generatif dimanfaatkan dalam kampanye pemilu untuk menghasilkan teks, audio, dan video.
Di Amerika Serikat (AS), iklan politik berkali-kali dibuat dengan bantuan AI.
Contohnya, Partai Republik yang merilis video iklan buatan AI yang memuat prediksi jika Presiden Joe Biden terpilih kembali.
Ada pula video kampanye gubernur Florida dari Partai Republik dan kandidat presiden Ron DeSantis yang dibuat dengan AI.
Hasil survei yang dilakukan oleh AP-NORC Poll yang diterbitkan pada November 2023, sebanyak 58 persen pemilih dewasa di AS khawatir AI dapat meningkatkan sebaran informasi keliru selama Pemilu 2024 AS.
Center for the Governance of AI, sebuah organisasi penelitian yang berbasis di Inggris berpendapat bahwa misinformasi yang ditimbulkan dari konten AI tetap berdampak.
Salah satu peneliti organisasi tersebut, Elizabeth Seger mengatakan, meski kemungkinan misinformasi yang dihasilkan oleh AI dapat mempengaruhi opini publik sehingga mempengaruhi pemilu sangatlah kecil, tetapi dapat menimbulkan dampak buruk pada pemilu dan politik secara lebih luas di masa depan.
Dikutip dari Time, pada Juli 2023 Gedung Putih mendapatkan komitmen dari pengusaha AI terkemuka, termasuk Meta dan Microsoft untuk menerapkan watermark pada konten visual dan audio yang dihasilkan AI.
Perusahaan pengembang AI mulai mewajibkan watermark pada iklan politik.
Kendati demikian, pemberian watermark dan label yang diberikan para pengembang AI dinilai belum cukup untuk mencegah penyalahgunaan konten.
Pasalnya, pelaku penyebar hoaks dapat dengan mudah menghapus watermark atau mengolah konten agar masyarakat tidak mengetahui konteks aslinya.
Peneliti di Digital Democracy Lab di Universitas Zurich, Sacha Altay berpendapat bahwa peserta pemilu harus jujur jika mereka memanfaatkan AI untuk pembuatan konten kampanyenya.
"Pada akhirnya, saya pikir hal ini tergantung pada bagaimana politisi menggunakan ekosistem informasi untuk mendapatkan kekuasaan atau mendapatkan pengikut untuk mendapatkan suara, bahkan jika mereka berbohong dan menyebarkan informasi yang salah," kata Altay.