KOMPAS.com - Pemberian grasi kepada Merri Utami, perempuan mantan pekerja rumah tangga yang divonis hukuman mati karena kasus narkoba pada 2002, dinilai sebagai preseden baik.
Pada 29 Juli 2016, eksekusi mati terhadap Merri batal dilaksanakan pada menit-menit akhir. Beberapa hari sebelumnya, dia telah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo.
Kendati demikian, Merri tetap berstatus terpidana mati dan menghabiskan lebih dari 20 tahun menunggu eksekusi sampai akhirnya Jokowi memberikan grasi pada 13 Maret 2023.
Baca juga: Mengenang Ita Martadinata, Aktivis HAM 1998 yang Dibunuh Sebelum Bersaksi di PBB
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, keputusan Jokowi memberikan pengampunan kepada Merri merupakan momen penting.
"Pihak berwenang harus mengikuti tindakan tersebut dengan meringankan hukuman bagi semua terpidana hukuman mati yang masih menunggu eksekusi dalam kondisi yang memprihatinkan," kata Usman, dikutip dari siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (16/5/2023).
Dia menambahkan, revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai berlaku pada 2026, juga memberlakukan kemungkinan keringanan hukuman setelah jangka waktu sepuluh tahun jika terpidana hukuman mati tetap berperilaku baik sesuai aturan.
Menurut Usman, Indonesia tidak boleh melewatkan kesempatan ini untuk secara signifikan mengurangi pemberlakuan hukuman mati setelah bertahun-tahun mencapai angka yang sangat tinggi.
Baca juga: Grasi Merri Utami Dikabulkan Jokowi, Momentum Tinjau Ulang Hukuman Mati
Pada 2022, Indonesia mencatat jumlah putusan hukuman mati yang tergolong tinggi, yaitu 112 vonis, dua angka lebih sedikit dibandingkan pada 2021.
Usman mendesak pemerintah untuk mengumumkan moratorium resmi eksekusi mati dan sepenuhnya menghapus hukuman mati.
Hal itu perlu dilakukan dalam mengakhiri penderitaan, setidaknya 452 terpidana hukuman mati, yang berada dalam isolasi selama bertahun-tahun, bahkan hingga puluhan tahun.
Sementara itu, Malaysia masih menjalankan moratorium eksekusi mati pada 2022, tetapi pengadilan masih menjatuhkan setidaknya 16 hukuman mati baru, termasuk untuk pelanggaran terkait narkoba.
Langkah penting menuju penghapusan hukuman mati di Malaysia terjadi setelah rancangan undang-undang tentang penghapusan hukuman mati wajib diadopsi parlemen pada Maret dan April 2023.
Baca juga: Hukuman Mati bagi Pelaku Mutilasi di Semarang
Direktur Eksekutif Amnesty International Malaysia Katrina Jorene Maliamauv mengatakan, keputusan Malaysia menghapus hukuman mati wajib dan menetapkan proses hukuman ulang bagi mereka yang berstatus terpidana mati membawa harapan baru.
Menurut Katrina, pengadopsian undang-undang bersejarah ini oleh Parlemen Malaysia dilakukan setelah bertahun-tahun berkampanye untuk meningkatkan kesadaran akan dampak hukuman mati terhadap mereka yang terdampak, dan masyarakat secara keseluruhan.
"RUU tersebut merupakan langkah penting dalam perjalanan negara kami menuju penghapusan hukuman mati – itu tidak boleh menjadi yang terakhir," kata Katrina.