KOMPAS.com - Meninggalnya lebih dari seratus orang di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10/2022) usai laga Arema FC vs Persebaya menimbulkan duka mendalam.
Hingga Senin (3/10/2022) pagi, Kemenkes mencatat ada 131 korban meninggal dunia, 31 luka berat, dan 253 luka ringan hingga sedang. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai catatan kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Namun, pemerintah pada Minggu (2/10/2022) malam secara resmi menyatakan jumlah korban tewas ada 125 orang, angka yang menyusut dari sejumlah laporan sebelumnya.
Kekeliruan prosedur penanganan massa saat Tragedi Kanjuruhan dinilai menjadi faktor yang memicu jatuhnya banyak korban, terutama penggunaan gas air mata.
Peraturan FIFA dengan tegas melarang penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di dalam stadion.
Baca juga: Menilik Regulasi FIFA soal Larangan Penggunaan Gas Air Mata di Stadion
Kendati demikian, polisi justru menembakkan gas air mata ke arah tribun Stadion Kanjuruhan yang masih dipenuhi penonton.
Hal itu memicu kepanikan yang membuat penonton berebut dan berdesak-desakan agar bisa keluar dari stadion. Akibatnya banyak orang terinjak-injak dan sesak napas.
Sejarah mencatat, gas air mata memegang andil penting dalam sejumlah tragedi sepak bola.
Setidaknya ada dua peristiwa-selain yang terjadi di Kanjuruhan, di mana penggunaan gas air mata di dalam stadion menyebabkan kematian ratusan orang.
Dilansir dari BBC, tragedi Estadio Nacional, Lima, Peru pada 24 Mei 1964 menjadi pertandingan sepak bola paling mematikan.
Peristiwa bermula saat Peru yang bertindak selaku tuan rumah tertinggal 0-1 dari Argentina dalam laga kualifikasi untuk Olimpiade Tokyo.
Pertandingan berjalan ketat dan Peru akhirnya berhasil menyamakan keadaan. Namun, gol tuan rumah dianulir oleh wasit.
Hal ini kemudian memicu kemarahan dari pendukung Peru, hingga membuat mereka menyerbu lapangan.
Baca juga: Tragedi Estadio Nacional Peru 1964, Korban Tewas 328, Ini Penyebabnya
Polisi mencoba mengendalikan situasi dengan menembakkan gas air mata untuk mencegah lebih banyak orang memasuki lapangan.
Akan tetapi, tindakan itu justru menyebabkan kepanikan. Penonton berhamburan dan berdesak-desakan mencoba menyelamatkan diri melalui tangga dan pintu yang tertutup.
Akibatnya, 328 orang tewas. Kematian terutama disebabkan pendarahan internal atau sesak napas akibat berdesak-desakan saat berusaha keluar dari stadion.