KOMPAS.com - Sebagian besar negara-negara di dunia sudah mendistribusikan vaksin Covid-19 bagi warganya. Namun, klaim keliru soal vaksin masih terus beredar.
Melalui sebuah artikel di Substack, Selasa (16/8/2022), tersiar klaim bahwa vaksin Covid-19 telah membunuh jutaan orang di dunia.
"Apakah Anda tahu berapa banyak orang yang telah dibunuh di seluruh dunia oleh pemerintah mereka dari tembakan COVID?" tulis judul artikel tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Isi narasinya dalam terjemahan bahasa Indonesia berbuyi:
Ini sekitar 12 juta. Itu adalah 40X jumlah orang Amerika yang terbunuh dalam Perang Dunia II. Ini lebih dari dua kali lipat jumlah yang terbunuh oleh COVID.
Margaret Anna Alice bertanya apakah ada yang bisa memperkirakan jumlah kematian global dari suntikan COVID.
Menurut pendapat saya, perkiraan yang masuk akal adalah membagi jumlah dosis dengan 1.000.
Jika Anda melakukan itu untuk dosis 600 juta yang dikirim di AS, Anda mendapatkan 600.000 kematian yang tepat di rata-rata.
Apakah data yang ditunjukkan itu valid? Lalu, benarkah vaksin Covid-19 mengakibatkan kematian? Simak faktanya.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) membantah mengenai klaim tersebut.
Dilansir dari Lead Stories, Kamis (18/8/2022), Tim Keamanan Imunisasi menyatakan bahwa klaim mengenai 12 juta orang meninggal karena vaksin, tidak didukung oleh data kesehatan masyarakat global atau data lainnya.
Terdapat beberapa kesalahpahaman dalam narasi dari artikel yang beredar.
Pertama, mengenai asumsi bahwa Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) menangkap kurang dari 1 persen dari efek samping yang dilaporkan, menunjukkan bahwa kejadian sebenarnya dari efek samping yang dilaporkan lebih dari 100 kali jumlah laporan di VAERS.
Namun, sejumlah penelitian, (misalnya, Verstraeten, Miller, dan sebagainya) telah menunjukkan bahwa untuk efek samping yang serius, VAERS menangkap proporsi efek samping yang jauh lebih besar.
"Hingga 76 persen untuk beberapa efek samping seperti intususepsi dan Guillain-Barre Sindrom," ujar CDC.