KOMPAS.com - Sebuah meteorit atau pecahan asteroid menghujam permukaan tanah dekat Sungai Tunguska, di sebuah tempat terpencil di tengah Siberia, Rusia pada 30 Juni 1908.
Jatuhnya meteorit itu kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tunguska, yang dampaknya sampai terasa di langit Eropa.
Dilansir dari Britannica, kekuatan ledakannya diperkirakan sebesar 15 megaton trinitrotoluene (TNT). Kekuatan ini seribu kali kekuatan bom atom yang menyerang Kota Hiroshima, Jepang, pada 6 Agustus 1945.
Dampak langsung dari ledakan itu diterima sekitar 2.000 kilometer persegi atau 500.000 hektare lahan di sana yang rata dengan tanah, dan hangusnya hutan pinus seluas 100 kilometer persegi.
Baca juga: Isu Piring Terbang Jatuh di Roswell, Menghebohkan AS Sejak 1947
Obyek asing itu mula-mula menerobos lapisan atmosfer bumi dan telah menciptakan ledakan dan bola api di langit.
Namun, tidak ditemukan kawah bekas jatuhnya meteorit di area itu, selain kebakaran di permukaan yang luas.
Sisa obyek asing yang berhasil ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan fragmen kecil yang ukurannya tak sampai 1 milimeter.
Diperkirakan, setidaknya ledakan memunculkan dua gelombang, yakni yang membakar dan yang kedua dengan cepat memadamkan.
Hasilnya hutan-hutan memang menyala, namun api tak sampai lama berkobar, sehingga dengan cepat meninggalkan arang-arang yang masih berdiri tegak.
Mengikuti peristiwa itu, awan noktilusen atau awan yang menyala membiaskan cahaya, muncul secara signifikan di langit Eropa, yang oleh ilmuwan diperkirakan dampak ledakan meteorit.
Baca juga: [HOAKS] Penampakan UFO di Malang, Jawa Timur
Tim ekspedisi yang dipimpin ilmuwan Uni Soviet saat itu, Leonid Alekseyevich Kulik, melakukan asesmen terkait Peristiwa Tunguska sejak tahun 1927 sampai 1930.
Data visual maupun wawancara saksi mata dikoleksi demi memahami peristiwa yang kemudian dinyatakan sebagai ledakan meteorit terbesar yang pernah tercatat itu.
Pusat ledakan sangat mudah ditemukan, meskipun tak ada kawah, karena semua pohon yang hangus roboh menjauhi lokasi pusat ledakan itu.