KOMPAS.com - Dua setengah tahun berlalu sejak dunia dilanda pandemi Covid-19. Berkat penanganan melalui protokol kesehatan dan pemberian vaksinasi, kini kehidupan masyarakat berangsur normal.
Di Indonesia sendiri, aturan penggunaan masker di luar ruangan mulai dilonggarkan. Begitu pula dengan aturan perjalanan dalam dan luar negeri.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pun setiap hari memperlihatkan data kasus di Indonesia yang semakin turun.
Pertanyaan pamungkas pun muncul: Apakah ini tanda pandemi sudah berakhir?
Sejak kasus pertama dilaporkan di Wuhan, China pada 31 Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih menetapkan Covid-19 sebagai pandemi hingga kini.
"Apakah Covid-19 sudah berakhir? Belum berakhir. Saya tahu itu bukan pesan yang ingin Anda dengar dan jelas bukan pesan yang ingin saya sampaikan," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebryesus di hadapan perwakilan Kementerian Kesehatan dari 194 negara dalam World Health Assembly di Jenewa, Swiss, Minggu (22/5/2022).
Baca juga: Cek Fakta Sepekan: Hoaks Idul Fitri Diundur dan Klaim Berakhirnya Pandemi
Meski beberapa negara telah mampu melonggarkan protokol kesehatan, tetapi tak dapat dipungkiri sedikitnya 70 negara lainnya masih melaporkan lonjakan kasus.
Dilansir dari laman resmi PBB, Minggu (22/5/2022) Tedros menyampaikan, angka kematian di Afrika dilaporkan meningkat akibat cakupan vaksinasinya terendah.
Testing dan tracing kasus Covid-19 pun mengalami penurunan. Tedros memperingatkan bahwa peningkatan penularan mengartikan akan lebih banyak risiko kematian, maupun risiko munculnya varian baru.
"Virus ini (corona) kerap mengejutkan kami, dan kami masih belum bisa memprediksi alur atau intensitasnya," ucap Tedros.
Wabah Covid-19 dengan cepat menyebar ke berbagai negara. Sebulan setelah kasus pertama dilaporkan, terdapat 7818 kasus terkonfirmasi dengan 82 di antaranya dilaporkan di luar China.
Melihat situasi ini, pada 30 Januari 2020, WHO menerbitkan deklarasi resmi Darurat Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional (PHEIC), yang secara hukum mengikat 196 negara penandatangan untuk mengikuti rekomendasi WHO selama keadaan darurat.
Dengan deklarasi ini, setiap negara harus melaporkan pembaruan dari situasi pandemi di negaranya, tindakan yang diambil, pengawasan varian, dan cakupan vaksinasi setiap negara.
Meskipun WHO tidak memiliki cara untuk menegakkan aturan tersebut, mekanisme inilah yang dibutuhkan oleh negara-negara berpenghasilan rendah.
Mekanisme ini pula yang membawa keadilan vaksin, sehingga vaksin Covid-19 bisa tersedia gratis bagi warga dunia.
Baca juga: Kumpulan Hoaks dan Penelusuran Fakta Chip pada Vaksin Covid-19
Komite WHO beranggotakan 18 orang menggunakan tiga kriteria untuk memutuskan kapan harus mendeklarasikan PHEIC dan kapan harus mencabutnya.
Situasi darurat kesehatan masyarakat harus dinilai serius, tiba-tiba, tidak biasa, atau tidak terduga, serta kemungkinan menyebar secara internasional. Penetapan ini dengan pertimbangan perlunya tindakan internasional segera.
Saat mencabut deklarasi keadaan darurat, komite mempertimbangkan metriks seperti cakupan vaksinasi dan angka kasus.
Kendati demikian, Caroline Buckee, ahli epidemiologi penyakit menular di HSPH berpendapat bahwa kriteria untuk mencabut PHEIC lebih bersifat sosial dan politis daripada ilmiah
"Tidak akan ada ambang batas ilmiah. Akan ada konsensus berbasis opini," kata Buckee, dikutip dari Science.org, 4 Maret 2022.
Baca juga: Muncul Hoaks yang Menyebut Vaksin Covid-19 Dapat Menyebabkan Sifilis
Alasannya, yang memperumit keputusan adalah prospek varian berbahaya lebih lanjut yang muncul, termasuk berpotensi dari sekitar 20 spesies hewan yang sekarang diketahui menjadi inang virus.
"Saya tidak tahu bagaimana akhirnya," kata ahli epidemiologi penyakit menular di Universitas Minnesota, Twin Cities, Michael Osterholm.
Keputusan untuk mencabut PHEIC memiliki implikasi keuangan juga.
Seperti diketahui, Moderna telah berjanji untuk tidak memberlakukan paten pada vaksin mRNA-nya sampai pandemi berakhir.
Pfizer belum membuat janji vaksin serupa, tetapi Merck telah setuju mengizinkan pembuatan obat generik SARS-CoV-2 sampai WHO menyatakan PHEIC selesai.
Lusinan perusahaan juga telah mendaftar untuk membuat molnupiravir Merck dan Paxlovid dari Pfizer untuk daftar panjang sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah.
Mengakhiri PHEIC artinya akan berdampak pada program-program utama terkait pandemi seperti Fasilitas Akses Global Vaksin Covid-19 (COVAX) dan induknya, Akselerator Akses ke Alat Covid-19 (ACT) yang merupakan jaringan global koperasi yang bertujuan untuk memperoleh dan mendistribusikan obat, diagnostik, dan vaksin.
"Operasi darurat COVAX dan ACT-A akan dihentikan—sulit untuk mempertahankannya," kata Seth Berkley, CEO GAVI Vaccine Alliance yang secara integral terlibat dalam kedua upaya tersebut.
Sementara, masih banyak negara yang masih melaporkan kasus dan angka kematian akibat Covid-19. Serta, cakupan vaksinasi yang belum kunjung terpenuhi.
Profesor genomik dan evolusi virus di Universitas Oxford, Aris Katzourakis berpendapat, terdapat dua hal utama untuk menentukan berakhir tidaknya pandemi.
Pertama, seberapa tahan lama kekebalan kita, terutama terhadap penyakit parah tetapi juga terhadap infeksi.
Kedua, seberapa cepat virus SARS-CoV-2 akan berkembang, khususnya dalam membobol pertahanan kekebalan.
"Kita mungkin tahu bagaimana akhir pandemi mungkin terjadi secara teori, dan pola yang harus diwaspadai untuk menentukan apakah kita mendekati endemisitas," ujar Katzourakis dikutip dari The Guardian, 1 Juni 2022.
Menurut pihaknya, sementara ini masih kurang jelas seperti apa masa depan dengan virus ini ketika Covid-19 tidak lagi pada tingkat pandemi.
Di sisi lain, dunia mengalami beberapa gelombang per tahun, yang masing-masing menanggung beban penyakit dan kematian yang besar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.